Sabtu, 13 Agustus 2016

LEMBAH NAGA BERMIMPI


Jilid 1
Bab 2: Gedung Tua Misterius


Lebih kurang seperminum teh lamanya, dari belakang pintu aling muncul dua orang wanita, yang dimuka ialah bujang perempuan setengah tua tadi sedang dibelakangnya juga seorang wanita berumur 40-an tahun, mengenakan pakaian dari sutera hitam, sikapnya angkuh sekali.

Walaupun sudah setengah tua tetapi masih tampak gaya perbawanya. Tentulah dulu ketika masih muda dia seorang gadis yang cantik sekali. Hanya sikapnya tampak angkuh dan dingin.
Menduga bahwa wanita itu tentulah pemilik gedung, buru-buru Lamkiong Wan berdiri member hormat.

Sepasang mata yang indah dari wanita itu memandang Lamkiong Wan beberapa jenak, baru tertawa, ujarnya: “Siangkong gagah dan berisi, mempunyai bakat luar biasa. Sungguh seorang ahli lwekang yang sukar dicari keduanya. Silahkan siangkong ikut aku menemui majikan.”

Lamkiong Wan terlongong. Siapakah wanita itu? Mengapa sekali pandang saja sudah tahu kalau dirinya memiliki ilmu silat? Dan siapakah majikannya itu?
Lamkiong Wan tak dapat mengatakan apa-apa kecuali menurut saja. Setelah melewati pintu aling, mereka masuk kedalam ruang kedua. Alat perabot disitu lebih bersih dari ruang besar dimuka tadi. Tetapi suasananya serupa sepinya.

Wanita baju hitam itu bertepuk tangan dan tak berapa lama dari bilik di belakang ruang itu muncul seorang wanita baju putih. Cantik sekali. Kulitnya putih halus seperti salju dan dengan langkah yang ringan ia menghampiri kemuka Lamkiong wan dan memandangnya terus menerus. Beberapa saat kemudian baru ia berpaling kepada wanita baju hitam itu.
“Benar, mari kita antarkan dia menghadap majikan,” serunya.

Kali ini Lamkiong Wan benar-benar bingung. Ia tak mengerti keluarga apakah penghuni gedung itu. Kedua wanita baju putih dan hitam itu, serba misterius.
Baru saja mengalami guncangan batin lolos dari gereja Siau-lim si, sudah tentua dia kehilangan faham menghadapi keadaan saat itu. Ia hanya menurut saja mengikuti kedua wanita itu menuju ke ruang yang ketiga.

Suasana dalam ruang ketiga itu juga aneh. Alat-alat perabotnya lebih bagus dari ruang kedua. Kedua dinding ruang penuh tergantung lukisan-lukisan dari pelukis ternama, bersemarak menyedapkan mata. Meja kursi yang terbuat dari galih pohon tho, amat bersih sekali.

Setelah mempersilahkan Lamkiong Wan duduk, kedua wanita itu lalu bertepuk tangan dan dari arah belakang ruang, muncul seorang dara membawa hidangan teh wangi, kemudian kembali masuk kedalam lagi.
Tak berapa lama terdengar bunyi gemerincing gelang dan bau harum yang semerbak. Dari belakang ruang itu muncul seorang wanita pula. Wanita baju hitam dan putih tadi segera bangkit menyongsong.
Lamkiong Wan juga ikut berdiri. Diperhatikannya wanita yang baru muncul itu berumur sekitar tiga puluh tahun, mukanya bulat telur, kecantikannya mempesona. Dia mempesona. Dia mengenakan baju leher panjang warna biru muda, berdiri dihadapannya.

Juga seperti wanita baju hitam dan baju putih tadi, wanita baju biru muda itu memandang Lamkiong Wan dari ujung kaki sampai keatas kepala sehingga Lamkiong Wan risih juga.
Beberapa saat kemudian baru wanita itu berpaling dan member perintah kepada bujang dibelakangnya: “Siapkan perjamuan!”

Setelah itu ia memberi isyarat agar Lamkiong Wan dan kedua wanita baju hitam dan putih duduk. Ketiga wanita itu duduk diam.Mereka tak bicara apa-apa melainkan tak henti-hentinya memandang Lamkiong Wan.
Lamkiong Wan makin risih. Ia seperti duduk diatas kursi berduri. Akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa ketiga wanita itu tentu salah faham, menuangka dirinya sebagai orang yang diharap kedatangannya.

Sebuah gedung yang sedemikian besar, yang ada hanya penghuni-penghuni wanita, sama sekali tiada orang lelakinya. Dan wanita wanita itu sedemikian dingin sikapnya, cantik tetapi gerak geriknya serba misterius. Sebagai seorang anak muda yang baru pertamakalikeluar dari perguruan, Lamkiong Wan tak punya pengalaman apa-apa. Karena yang punya rumah diam saja, iapun juga diam. Sebenarnya ia ingin bicara tetapi tak tahu akan ngomong apa.

Tak berapa lama diatas meja telah dipersiapkan hidangan yang lezat-lezat tetapi sumpitnya hanya sepasang. Ketiga wanita itu mempersilahkan Lamkiong Wan duduk ditengah, menuangkan arak lalu kembali ke tempat duduknya semula. Dengan begitu jelas, hidangan sekian banyak dan macam-macam itu hanya diperuntukkan dirinya seorang.

Lamkiong Wan memang lapar sekali. Maka tanpa sungkan lagi ia terus melahap hidangan itu dengan rakus.
Caranya makan benar-benar menimbulkan kesan  bahwa dia seperti orang yang sudah beberapa hari  tak menelan makanan. Ia sendiri menyadari bahwa hal itu kurang layak, tetapi bagaimana lagi. Ia hanya tertawa meringis.

Walaupun pakaiannya compang camping tetapi sepasang matanya yang bening dan bersinar, wajahnya  yang tampan dan gagah, penuh dengan gaya sifat lelaki yang perkasa. Melihat Lamkiong Wan tertawa, ketiga wanita itupun agak tergerak hatinya.
“Terima kasih sekali atas kebaikan toa-soh kalian yang telah menjamu aku. Maaf, karena masih mempunyai urusan penting terpaksa aku harus menlanjutkan perjalanan dan tak lama-lama disini merepotkan toasoh sekalian. Terima kasih dan mohon diri,” seru Lamkiong Wan dengan nyaring setelah perutnya kenyang.

Wanita baju biru kerutkan alis tetapi pada lain saat ia tertawa mengikik, serunya: “Tong siangkong, lancar bicara, tegas bertindak. Sungguh seorang jago muda yang menggemparkan dunia persilatan. Tetapi dari daerah Tangpak yang jauhnya ribuan li datang ke daerah Tionggoan, masa kan Tong siangkong tak mau lebih dulu bertemu dengan majikan kami dan terus hendak berangkat lagi?”

Lamkiong Wan tertegun.
“Apakah kalian masih mempunyai majikan lagi,” serunya terkejut.
Bermula ia mengira kalau wanita baju biru itulah pemilik gedung. Setitikpun tak disangkanya kalau bujkan. Lalu siapakah pemilik  gedung yang sesungguhnya? Karena mereka  keliru menyangka dirinya sebagai Tong siangkong, maka biarlah ia berpura-pura mengaku begitu. Pali8ng banyak , apabila Tong siangkong itu datang, dia segera angkat kaki dari situ. Demikian ia menimang-nimang.

“Baiklah, kalau begitu harap toasoh suka membawa aku menghadap pemilik gedung ini agar aku dapat menghaturkan terima kasih,” kata Lamkiong Wan.
Wanita baju biru tertawa: “ Rupanya tentu tuan habis melakukan perjalanan jauh sehingga wajah tuan penuh debu kotoran. Mari ikut  aku kedalam untuk membersihkan diri dang anti pakaian. Besok pagi-pagi baru kita menghadap majikanku.”

Belum sempat ia mengambil keputusan, tiba-tiba wanita baju biru itu bertepuk tangan dan muncullah dua orang bujang perempuan. Kepada orang yang berdiri disisi kanan, ia member perintah : “Jiu Lan, bersihkan villa yang merah. Mala mini Tong siangkong akan bermalam disitu.”
Bujang yang dipanggil Jiu Lan itu mengiakan lalu masuk kedalam. Kemudian wanita baju biru  itu berpaling kepada bujang disisi kiri serunya: “Swat Bwe, antarkan Tong siangkong ke kamar mandi.”

Lamkiong Wan serta merta menghaturkan terima kasih atas kebaikan wanita baju biru itu. Kemudian ia mengikuti Swat Bwe keluar dari ruang itu. Mereka menuju ke ruang samping yang didalamnya mempunyai kamar mandi. Swat Bwe membawa air panas dan seperangkat pakaian. Setelah mengancing pintu, Lamkiong Wan lalu merendam diri dalam tahang air hangat itu.

Sudah beberapa hari Lamkiong Wan tak mandi. Selesai mandi ia rasakan badannya segar sekali sekarang. Dan setelah ganti pakaian, dia seolah-olah menjadi seorang manusia baru. Penuh bersemangat, sepasang alis mata dan mata makin tampak bagus, bibir merah dan giginya pun mengkilap putih. Sungguh seorang pemuda yang tampan. Jauh bedanya dengan seorang kacung penunggu dapur pembakaran kertas sembahyang.

Melihat pemuda itu lain seperti yang tadi, bujang Swat Bwe sampai terlongong-longong memandangnya beberapa saat, baru berkata : “Siangkong, mari kuantar beristirahat ke villa Merah.”
Setelah berjalan melintasi sebuah halaman dan sebuah lorong serambi, tibalah  mereka di kamar yang dinamakan Se hong suan atau Villa warna Merah pudar.

Bangunan itu terletak disudut halaman. Pada kedua sampingnya terdapat dua buah pintu bundar model rembulan. Kemudian diluar pintu  terdapat dua buah lorong serambi yang saling berhubungan. Halaman penuh dengan pohon-pohon bunga tho, heng-hay song, botan dan lain-lain.

Dalam villa itu terdapat sebuah ruang kecil lalu sebuah lorong pendek dengan dua buah kamar di kanan kiri. Kamar sebelah kanan sudah dibersihkan. Selambu, seprei, bantal bersulam indah dan bersih. Disisi ranjang tergantung sebuah lampu pelangi. Dekat jendela terdapat sebuah meja marmer yang berkaki kayu ang bok, dengan dua buah kursi sandarannya tinggi tetapi kakinya melengkung bertutup alas kain beludru tebal warna merah.

Dua pot bunga seruni putih pada jendela tengah mekar dan menyiarkan bau yang harum. Jelas kamar itu sebuah kamar yang mewah dan indah. Lamkiong Wan gembira sekali sehingga terlongong-longong seperti orang tolol.
Setelah mengantar sampai kedalam kamar itu, Swat Bwe pun segera pergi. Disitu sudah ada Jiu Lan yang melayani.
“Siangkong, apakah engkau cocok dengan kamar ini?” tanyanya.
“Ya..ya, cocok,” sahut Lamkiong Wan.
“Mungkin siangkong telah menempuh perjalanan yang jauh, silahkan beristirahat. Aku berada diluar, kalau perlu panggil saja.”

Melihat bicara bujang itu teratur dan sopan, tak terasa Lamkiong Wan memandangnya. Dia seorang dara berumur 15-16 tahun, lincah dan menyenangkan. Wajahnya menunjukkan kecerdasan. Tanpa disadari ia berseru: “Bujang penyair dari keluarga The, masakan begitu merendah diri…?”
Kata-kata itu berasala dari suatu sejarah di jaman ahala Han. Dalam rumah sastrawan The Hian, bujang-bujangnya semua belajar sastra. Di kemudian hari, mereka terkenal sebagai bujang penyair.
“Ah, mana aku dapat dibandingkan dengan bujang keluarga The Hian?” sahut Jiu Lan dengan tertawa.

Lamkiong Wan terkejut. Jiu Lan hanya seorang dara tetapi mengapa mengerti apa yang ia ucapkan tadi. Dengan begitu dapat dibayangkan betapa hebat majikannya itu nanti.
Dengan pandang bertanya, Lamkiong Wan berkata pula: “Taci Jiu Lan, siapakah nama majikanmu itu?”

Mendengar pertanyaan itu seketika cahaya muka Jiu Lan agak berobah. Ia memandang Lamkiong Wan, mulut hendak berkata tetapi  tak jadi. Ia hanya menghela napas lalu melangkah keluar.
Melihat gerak gerik bujang itu Lamkiong Wan tertegun. Ia merasa bahwa keadaan gedung yang luas itu agak berbeda dengan rumah-rumah lain. Tetapi ia memutuskan, malam itu akan tidur dengan nyenyak kemudian pagi-pagi sekali ia akan pergi tanpa pamit. Ia tak perduli adakah tindakannya itu tercela atau tidak.

Tiba-tiba Jiu Lan masuk lagi dan berkata dengan perlahan : “Siangkong, mengapa engkau datangke tempat yang berbahaya ini? Apakah engkau tak tahu bahwa gedung keluarga Li ini sudah bukan merupakan lagi apa yang dahulu disebut sebagai It-kiong, Ji-wan, Sam-pang?”
Lamkiong Wan terlongong tak dapat berkata. It-kiong artinya Sebuah Istana. Ji Wan artinya Dua buah gedung dan Sam pang berarti Tiga Perkumpulan.

Berkata pula Jiu Lan : “Siangkong, walaupun engkau berkepandaian tinggi tetapi tak mungkin dapat menandingi nona puteri majikan kami….”tiba-tiba ia berhenti dan terus melangkah pergi.
Lamkiong Wan hendak mengambil dan meminta penjelasan. Tetapi karena melihat wajah bujang itu amat tegang dan tergopoh-gopoh pergi, diam-diam timbul suatu rasa seram dalam hatinya.

Memang anak muda itu selalu ingin tahu segala apa. Walaupun tahu bahwa ia sedang menghadapi sesuatu yang aneh tetapi Lamkiong Wan bahkan malah hendak bermalam disitu. Ia ingin tahu bagaimanakah nona majikan mereka itu.
Tak berapa lama Jiu Lan masuk lagi tetapi selain hanya mengantar hidangan malam, ia tak berkata apa-apa lagi.
Melihat wajah bujang itu gelisah, Lamkiong Wan pun tak mau bertanya lagi soalgedung keluarga Li. Di villa Merah itu ia hanya dilayani Jiu Lan. Bujang lain dan ketiga wanita setengah tua tadi tak pernah muncul. Suasana gedung itu sunyi menyeramkan sekali.

Terbenamnya matahari segera diganti dengan malam yang menebarkan kegelapan. Lentera-lentera yang indahpun mulai bersinar.
Tiba-tiba Lamkiong Wan mendengar langkah kaki orang berjalan. Ia mengira tentulah Jiu Lan yang datang. Tetapi ternyata bukan.
“Tong siangkong, apakah belum tidur?” terdengar sebuah suara yang lembut dan tahu-tahu seorang wanita baju biru sudah tegak dimuka pintu.

Saat itu Lamkiong Wan tengah melamun. Mendengar teguran itu cepat-cepat ia berdiri, serunya : “Entah petunjuk apakah yang hendak nyonya berikan kepadaku?”
Tiba-tiba wajah wanita itu berobah serius, ujarnya: “Memang aku hendak menyampaikan sesuatu kepada siangkong…”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan:
“Tong siangkong adalah tuan muda dari Gedung Tong yang merupakan salah satu dari It kiong, Ji Wan, Sam pang yang termasyhur dalamdunia persilatan. Kecerdasan, kepandaian silat, pengetahuan siangkong sudah terkenal diseluruh dunia persilatan,,,..maka tepat kalau dikata, mata seorang ahli tentu takkan kemasukan butir pasir.”

Mendengar kata-kata wanita itu, Lamkiong Wan seperti orang yang mabuk arak, tak tahu apa yang dimaksudkan dengan ucapan ini. Ia bingung tetapi berusaha untuk tetap tenang mendengarkan.
Sejenakmata yang indah dari wanita baju biru itu memandang Lamkiong Wan,lalu berkata pula:
“Tentang bakat kepandaian Tong siangkong nona majikan kami sudah lama mendengar, pun sudah tidak asing lagi. Asal siangkong tak melanggar peraturan gedung ini, tentu akan kami perlakukan siangkong sebagai seorang tetamu terhormat..”

Lamkiong Wan seorang pemuda yang cerdas. Mendengar kata-kata dan memperhatikan wajah orang segera ia dapat menanggapi maksudnya. Tak lain wanita itu hendak memperingatkan dia agar malam itu jangan keluar menyelidiki rahasia mereka. Tetapi ia pura-pura tak mengerti dan sambil tertawa bertanya:
“Atas budi kebaikan kalian terhadap diriku, kelak aku tentu akan menghaturkan terima kasih. Tetapi mengapa kalian hendak membatasi gerak gerikku?”

Wanita baju biru itu tertawa dingin, serunya : “ Kebahagiaan dan bencana tiada berpintu, hanya orang sendiri yang mencarinya. Apabila tingkah laku mu terlalu bebas dan makin melanggar peraturan gedung kami, jangan marah kalau kami akan bersikap lain kepadamu. Takkan memperlakukan engkau sebagai tetamu terhormat tetapi bahkan akan menghukum mati dirimu.”

Lamkiong Wan serentak merasa bahwa dirinya sudah terlibat dalam suatu hal yang masih belum diketahuinya. Ia tertawa hambar.
“Apakah hal ini yang hendak nyonya katakana kepadaku?” serunya.
Wanita baju biru itu tertawa mengekeh.
“Menilik sikap dan wajahmu yang tenang, engkau seperti tak gentar. Tetapi ketahuilah tiada seorang tokoh dalam dunia persilatan yang mampu lolos dari tangan nona majikan kami. Harap  engkau suka berpikir yang panjang,”  serunya lalu melangkah pergi.

Malam pun makin kelam. Walaupun sudah memadamkan lampu tetapi Lamkiong Wan masih belum dapat tidur. Begitu pun ia sudah mengatakan kepada dirinya bahwa urusan itu bukan urusannya mengapa dia harus ikut campur. Namun matanya tetap tak mau dibawa tidur.

Beberapa kali ia turun dari ranjang hendak menyelinap keluar tetapi lain perasaannya mencegahnya. Ia ingin tahui apa sebenarnya yang akan terjadi di gedung itu.
Pada saat ia masih tergolek diatas ranjang tak dapat tidur tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang ngeri memecah kesunyian malam.
Ia terkejut, loncat turun dari ranjang lalu perlahan-lahan menghampiri kemuka jendela. Di luar, malam sunyi senyap bagai sebuah kuburan.

Setelah memperdengarkan jerit yang ngeri, tidak kedengaran suara apa-apa lagi. Suasana pun kembali hening lelap.
Tetapi  ada suatu perasaan seram yang mencengkeram hati Lamkiong Wan. Karena jeritan ngeri itu jelas dari mulut seseorang yang mengalami peristiwa yang menyeramkan sekali.
Jelas dalam gedung keluarga Li yang menyeramkan itu, seseorang telah terbunuh mati. Tetapi siapakah gerangan orang itu?Ia tahu bahwa dalam gedung itu tiada orang lelaki tetapi jeritan itu jelas dari nada suara orang lelaki.

Setelah tegak termenung-menung beberapa saat akhirnya dengan gerak macam naga meluncur, ia loncat keluar jendela dan secepat itu  pula terus loncat keatas atap rumah. Ilmu meringankan tubuh yang dilakuikannya itu hebat sekali. Mungkin tokoh kelas satu dalam dunia persilatan pun hanya setingkat begitu.

Setelah berada diatas genteng,ia mendekam dan memandang ke sekeliling penjurui. Tetapi aneh, seluruh gedung Li yang sebesar itu tetap tenang-tenang saja. Seolah-olah tiada seorang pun penghuninya yang mendengar tentang jeritan seram tadi.

Lamkiong wan yang cerdas segera dapat merangkai suatu kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapinya saat itu benar-benar merupakan suatu kejahatan yang terselubung secara lihay sekali. Mau tak mau ia merasa ngeri juga.

Sekonyong-konyong dari ujung seberang halaman melayang sesosok bayangan manusia. Gerak geriknya sedemikian ringan sekali sehingga tak mengeluarkan suara sedikitpun juga. Orang itu berhenti di halaman villa Se hong suan.
Dengan pandang matanya yang tajam dapatlah Lamkiong Wan melihat keadaan orang itu. Masih nuda berumur sekitar dua piluh tahun, mengenakan pakaian warna biru dengan sabuk putih, bersepatu laras tinggi. Dada bidang, pinggangkencang, wajah bundar seperti bulan purnama, bibir merah berhias gigi putih, tangan mencekal sebuah kipas yang berkerangka baja. Sungguh gagah sekali sehingga diam-diam Lamkiong Wan memuji juga.

Pemuda baju biru itu memandang kearah villa merah. Tiba-tiba ia berputar-putar tubuh dan tiga empat kali menggoyang-goyangkan kipas bajanya lalu berdiri diam lagi.
Lamkiong Wan kerutkan dahi. Tak tahu ia apa maksud gerakan pemuda baju biru itu. Begitu selesai ia menduga-duga tiba-tiba terdengar suara gedebak-gedebuk. Beberapa tubuh manusia rubuh dari balik pohon dan ujung rumah yang gelap.

Bukan kepalang kejut Lamkiong Wan. Ternyata gerakan  kipas dari pemuda baju biru itu mengandung senjata rahasia yang ganas. Senjata rahasia itu tak mengeluarkan bunyi sama sekali tahu-tahu beberapa orang telah rubuh.
Gerakan pemuda itu mencakup kelihayan ilmu silat,pengalaman dan keganasan. Lamkiong Wan merangkai kesimpulan bahwa pemuda baju biru itu tentu seorang jago silat yang hebat.

Terdengar sebuah suara orang mendengus dan pada lain saat dari balik sebatang pohon di tempat yang gelap,muncul seorang baju hitan. Kecuali pada bagian mata yang diberi berlubang, orang itu mengenakan pakaian yang menyelubungi kepala sampai kaki.

Melihat seorang baju hitam muncul, pemuda baju bitu itupun segera melangkah maju menghampiri. Kira-kira terpisah setombak jaraknya, pemuda itu tertawa dingin lalu kebutkan kipas bajanya kemuka.
Lamkiong Wan dapat melihat jelas, dari kipas baja itu telah meluncur tiga batang sinar emas yang selembut bulu kerbau kearah orang baju hitam itu.

Tetapi rupanya orang baju hitam itu sudah bersiap. Pada saat pemuda baju biru menggerakkan kipasnya, ia sudah melangkah  kesamping untuk menghindar lalu maju merapat dan secepat kilat menyambar siku lengan pemuda baju biru itu.

Tetapi pemuda baju bir itupun segera mengendapkan tangannya kebawah, sedang tangan kirinya pun mencabut sebatang pedang pendek dari bajunya dan terus menusuk.
Namun ia menyadari bahwa gaya serangan menusuk secara biasa, tentu tak mungkin dapat melukai lawan. Maka tiba-tiba ditengah jalan, ia balikkan pedang dan meneruskan tusukannya.
Tetapi orang baju hitam itu juga lihay. Melihat perobahan gaya serangan lawan , ia segera menyurut mundur.
Sambil tertawa mengejek, pemuda baju biru itu berseru : “Hmm, engkau dapat menghindar dengan cerdik sekali!”

Orang baju hitam pun menjawab sisnis:
“Sejak masuk kedalam gedung keluarga Li, anda telah membunuhbelasan jiwa penghuni disini. Tentulah anda seorang yang ternama, bukan?”
Agaknya orang baju hitam terkejut juga melihat kepandaian pemuda baju biru itu. Sejauh pengetahuannya, ia belum pernah mendengar tentang seorang jago muda yang sedemikian saktinya.

Juga Lamkiong Wan tak kurang kejutnya. Saat itu baru ia tahu akan keadaan kedua orang itu. Ia tak pernah menyangka bahwa gedung yang tampaknya tiada berpenghuni lelaki dan tanpa penjagaan, ternyata dijaga ketat sekali dan penuh dengan jago-jago kojiu. Demikian pula wanita baju biru itu pun telah memasang penjagaan disekitar villamerah untuk mengawasi gerak-geriknya.

Terdengar pemuda baju biru tertawa perlahan:
“Jika engkau ingin tahu namaku, silahkan engkau pergi ke akhirat dan memeriksa buku cacah jiwa dari Raja Akhirat!” sambil berkata ia terus menusuk dada orang baju hitam.

Melihat serangan itu, cepat orang baju hitam melepaskan hantaman seraya menghindar ke samping. Tetapi sebelum ia sempat berdiri tegak,ujung pedang pemuda itu pun sudah mengancamdadanya lagi. Bukan kepalang kejut orang baju hitam. Berulang kali ia menghindar ke samping seraya menghantam dengan kedua tangannya.

Tetapi pemuda baju biru itu dengan gerak  tata langkah yang lincah dan indah selalu dapat berkisar menghindar, sedang pedang pendeknya bagaikan besi sembraniyang selalu menjurus kearah dada lawan.
Orang baju hitam itu terkejut dan marah, selama berlincahan menghindar itu ia sudah melontarkan dua belas buah pukulan dan bergantiposisi sampai tujuh belas kali. Tetapi tetap tak mampu terlepas dari ancaman pedang pemuda baju biru itu.

Melihat pertempuran itu, diam-diam Lamkiong Wan terkejut dalam hati. Pedang pemuda baju biru itu benar-benar seperti bayangan yang melekat tubuh lawan. Diam-diam iapun memperhitungkan. Andaikata pemuda baju biru itu menyerangnya dengan jurus permainan begitu, hanya dengan jurus Tang-hay pok liong atau Menangkap naga di laut timur, sebuah jurus pelajaran dari Siau-lim si, baru ia dapat memaksa lawan untuk menarik serangannya.

Pada saat itu tampak pemuda baju biru mulai perlahan-lahan mengangkat kipas bajanya dan lurus ditudingkan kearah orang baju hitam.
“Hm, sekalipun engkau lolos dari kejaran pedangku ini tetap jangan engkau mimpi dapat lolos dari kipasku Toh hun san yang berisi belasan macam senjata rahasia,” ia mendengus dingin.
Rupanya orang baju hitam itu menyadari kalau tak mungkin dapat meloloskan diri. Maka iapun hentikan gerakannya sama sekali.

Tiba-tiba terdengar orang baju hitam itu berseru dengan nada sedingin es: “Tetapi apakah engkau yakin kalau mampu lolos dari gedung Li yang telah dijaga rapat ini?”
Mendengar itu Lamkiong Wan terkejut dan memandang ke sekeliling penjuru. Ternyata disekitar villa merah itu telah bermunculan belasan orang baju hitam. Setiap orang baju hitam itu mencekal sebuah senjata trisula berkepla elang hitam. Juga wajah mereka, semua tertutup kain kerudung hitam.

Sambil masih melekatkan pedang dan kipas baja kearah dada orang baju hitam itu, pemuda baju biru itu menyelimpatkan pandang ke sekitar penjuru. Ia tertawa dingin.
“Jika tak salah kawanan orang-orang baju hitam itu tentu barisan Elang Hitam. Jika begitu engkau itulah Ratu Elang Hitam,” serunya.
“Menilik anda sudah dapat mengenal diri kami, tentulah anda juga tahu akan peraturan himpunan kami,” wanita itu mengesuh dingin.

Pemuda baju biru tertawa meloroh:
“Setiap orang persilatan yang dapat menemukan jejak dan mengenal diri kalian, tentu harus mati. Selama ini tiada seorang pun yang dapat hidup,” serunya.
Wanita baju hitam itu berseru dingin:
“Jika kau mengerti hal itu mengapa anda tak lekas-lekas bunuh diri!”
Pemuda baju biru tersenyum.
“Ha, ha, apakah kalian tak memikirkan keselamatannya lagi…,” tiba-tiba pemuda itu memekik amarah seraya mengisar kesamping untuk menghindari pikulan yang dilancarkan wanita baju hitam itu. Dan sekali gerakkan kipasnya maka orang baju hitam tadi segera mengerangtertahan terus rubuh ke tanah.

Wanita baju hitam itu kerutkan alis lalu melengking dan menerjang maju dalam gerak yang luar biasa cepatnya. Tangan kirinya menampar bahu pemuda itu.
Pemuda baju biru miringkan bahunya lalu serentak taburkan pedang dalam gerak seperti menusuk tetapi pun seperti menabas jalan darah bahu wanita itu.

Tetapi wanita baju hitam itu tak menghindar atau pun menyingkir, ia songsongkan kelima jari yang runcing kebelakang untuk mencengkeram siku lengan kiri si pemuda.
Dari tempat persembunyiannya, Lamkiong Wan terkejut menyaksikan kelihayan wanita baju hitam itu. Ia tak menyangka bahwa wanita itu ternyata  seorang kojiu. Tanpa berpaling muka dan tanpa mengisar tubuh, hanya dengan mengandalkan ketajaman telinganya, ia dapat membalikkan tangan kebelakang untuk mencengkeram dengan tepat jalan darah pada siku lengan lawan.

Pemuda baju biru terpaksa menggelincirkan lengannya kebawah sembari menyurutmundur, lalu tertawa dingin.
“Ternyata ilmu kepandaian dari Ratu Elang Hitam memang hebat sekali. Baiklah, hari ini aku akan minta pelajaran lagi…”
Setelah cengkeramannya luput, sambil memegang pinggangnya dengan tangan kanan, wanita baju hitam itupun segera berputar tubuh, tetapi pemuda baju biru itu tak mau member kesempatan lagi.
Ia tertawa meloroh serunya: “ Rupanya saat ini dalam gedung keluarga Li telah merupakan sebuah sarang dari jago-jago silat yang berilmu tinggi ibarat sarang berkumpulnya naga dan harimau. Penuh dengan kabut hawa pembunuhan yang meluap-luap. Tiga hari atau paling lambat tujuh hari lagi aku tentu akan datang mengunjungi nyonya kemari.”
Habis berkata ia terus lari kearah villa Se hong-suan.

Empat orang baju hitam yang bersenjata trisula dan menjaga tempat itu segera menyongsong dengan senjatanya. Tetapi pemuda baju biru itu mengayunkan kaki dan beberapa kali tamparkan kipasnya.
Bluk, bluk, bluk, keempat anggota Elang Hitam itu segera rubuh terkena senjata rahasia yang dimuntahkan dari kipas baja pemuda baju biru.

Setelah merubuhkan lawan, cepat pemuda baju biru apungkan tuibuh melayang keatas genteng lari menuju ke tempat persembunyian Lamkiong Wan.
Lamkiong Wan terkejut, ia hendak menyingkir tetapi tak keburu. Gerakan pemuda baju biru memang cepat  sekali. Tuga batang jarum halus warna emas segera berhamburan menabur muka Lamkiong wan.

Tahu akan keganasan senjata rahasia itu, Lamkiong Wan menekan genteng lalu dengan meminjam tenaga tekanan itu tubuhnyapun melayang ke samping.
Terdengar mulut pemuda baju biru itu mendesis geram. Ia terus menerjang. Pedang di tangan kiri cepat menabas tetapi luput, kipas di tangan kanan menyusul ditamparkan. Rupanya dia sudah tahu bahwa Lamkiong Wan berkepandaian tinggi dan dia memang ingin sekali membunuhnya. Maka tamparan kipas bajanya itu dilambari dengan tujuh bagian tenaga dalam.

Setelah berhasil menghindari tebasan pedang, Lamkiong Wan terkejut melihat tamparan kipas pemuda baju biru itu sedemikian dahsyatnya. Ia tak mau menghindar, kebalikannya malah tamparkan lengan bajunya kearah kipas lawan.
Terjadilah benturan antara lengan baju dengan kipas. Seketika Lamkiong Wan rasakan tubuhnya bergetar keras sedang pemuda baju biru itupun tersurut mundur selangkah.
Pertempuran selanjutnya berlangsung dengan cepat dan seru sekali.

Wanita baju hitam pun menyaksikan pertempuran itu. Bermula ia masih dapat melihat kedua pemuda itu saling bertukar pukulan dan saling menangkis tetapi selanjutnya ia tak dapat mengikuti jalannya pertempuran lagi. Matanya seolah-olah kabur melihat pertempuran yang dilakukan sedemikian cepatnya.

Tiba-tiba wanita baju hitam itu berseru: “Tong siangkong, harap tahan dia!”
Mendengar itu terkesiaplah pemuda baju biru. Dengan cepat matanya berkilat-kilat mengamati Lamkiong Wan dari kaki sampai keatas kepala.
Tiba-tiba ia mengadahklan kepala dan tertawa tergelak-gelak lalu, wut, wut, dua kali kipas bajanyaditamparkan kearah wanita cantik baju hitam.

Rupanya setelah berseru kepada Lamkiong Wan, wanita cantik baju hitam itu hendak melayang keatas genteng. Tetapi sebelum kakinya sempat berdiri tegak, pemuda baju biru sudah menyambut dengan tamparan kipasnya. Tampak bahu wanita baju7 hitam itu bergetar dan tubuhnya pun segera melambung ke udara, menghindari angin tamparan kipas si pemuda baju biru.

Pada saat wanita baju hitam serdang menghindar itu, pemuda baju biru pun segera berputar tubuh dan terus meloncat keatas rumah yang lain dan lenyap dalam kegelapan malam.
Saat itu Lamkiong Wan masih merasakan tangan kanannya kesemutan. Ia hanya dapat memandang cakrawala dan menghela napas panjang. Ia tak mengucap apa-apa tetapi hatinya yang berbicara.

Beberapa saat kemudian, ketika ia berputar tubuh dan memandang kian kemari, ternyata wanita baju hitam dan kawanan baju hitam itu, sudah tak tampak lagi.
Ia pun segera melayang turun dan masuk kedalam kamar. Saat itu hari sudah hampir fajar. Dia masih memikirkan peristiwa-peristiwa tadi tetapi tetap tak dapat memecahkannya. Terlalu rumit dan gelap baginya.

“Dunia persilatan sungguh penuh dengan hal-hal yang aneh dan sukar diduga,” akhirnya ia menghela napas.
Dengan perlepasan pikiran itu, iapun terlena tidur pulas. Sampai matahari sudah memncarkan sinar yang terang benderang, baru ia bangun.
Ternyata di meja sudah tersedia hidangan panmas dan segala keperluan cuci muka. Alat-alatnya mewah dan mahal semua. Demikian pula dengan hidangannya. Sepinggan mi ayam goring ayam, dan ayam panggang serta sebuah botol kecap.
Hidangan itu menyiarkan bau yang membangkitkan nafsu makan. Lamkiong Wan pun tak sungkan. Setelah gosok gigi dan cuci muka, segera ia melahap hidangan itu.

Ada suatu keanehan yang dirasakan. Sampai setengah hari tak tampak barang seorang bujang yang datang kesitu.
Saat itu matahari mulai condong ke barat. Lamkiong Wan melangkah keluar, berjalan mondar mandir diantara gerumbul pohon. Walaupun pohon-pohon bunga itu sudah banyak yang gugur dan layu tetapi dapat juga membangkitkan kesegaran semangat.

Ia tengah tertegun ketika Jiu Lan menghampiri dan berseru: “Siangkong, nyonya kami hendak bicara dengan siangkong.”
Beberapa saat kemudian terdengar suara gemerincing gelang dan di serambi muncullah  wanita baju biru itu. Dengan langkah yang lemah gemulai ia menghampiri Lamkiong wan dan berseru dengan tertawa cerah.
“Ah, siangkong tentu sudah lama menunggu,”
Lamkiong Wan segera mempersilahkannya masuk kedalam ruiang. Wanita baju biru itu memberi isyarat agar Jiu Lan keluar.

Kemudian Lamkiong Wan bertanya tentang keperluan nyonya itu. Tiba-tiba nyonya baju biru berbangkit. Sambil perlahan-lahan menyingkap rambut diatas dahinya ia tertawa.
“Peristiwa yang terjadi semalam tentu mengejutkan siangkong,. Maka aku hendak menghaturkan maaf kepadamu,” Katanya.
Lamkiong Wan terkejut ketika melihat wanita itu menjura dihadapannya.
“Ah, tak usah, tak usah…,” Lamkiong Wan gopoh berseru hendak meminta wanita itu jangan berlaku demikian banyak peradatan. Tetapi sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, ia melihat sebuah jari tangan wanita itu bergerak hendak menutuk lambungnya.

Dalam kejutnya, Lamkiong Wan terpaksa mengeluarkan ilmu sakti Can liong jiu atau penebas naga dari perguruan Siau lim si untukmenampar pergelangan tangan wanita itu.
Wanita baju biru mengisar langkah dan menghindari kemudian tertawa rendah: “ Ilmu Can-liong jiu dari Siau-lim si!”
Suara tawa wanita semerdu burung kenari berkicau, gemerincing laksana butir-butir mutiara menumpah diatas penampan kumala. Disertai dengan gaya yang mempesona, Lamkiong Wan terpukau.

Tetapi pada saat itu tangan wanita baju biru sudah bergerak pula untuk balas menampar siku lengan Lamkiong Wan.
Lamkiong Wan tersentak dari longongnya. Ia rasakan suatu arus tenaga lunak yang dingin memancar keluar dari lengan baju wanita itu. Cepat ia menghimpun tenaga murni dalam dada, membalikkan lengan tangan dan balas memancarkan tenaga dalam lalu mundur selangkah.
“Jika nyonya tak berhenti menyerang, maaf kalau aku berlaku kurang sopan,” serunya.

Namun wanita baju biru itu tetap tertawa.
“Ah, lagi-lagi ilmu pelajaran dari Siau-lim si. Hebat sekali tenaga pukulan itu,” serunya seraya menyelimpat maju kesamping Lamkiong Wan. Tangan kanan mencengkeram dan kaki kiri yang semulus salju bercampur warna merah mawar, segera beraqyun menendang.

Lamkiong wan mengisar setengah langkah ke samping, menghindari cengkeraman. Tetapi selekas itu harus kerutkan dahi karena melihat betis yang putih dari wanita baju biru itu. Cepat ia gunakan jurus Hoa-liong tiam ceng atau Menyelesaikan lukisan naga dengan menitik mata, dua buah jari telunjuk dan jari tengah, segera menutuk jalan darah Wi tiong hiat di lutut wanita itu.

Wanita baju biru itu miringkan tubuh, secepat kilat ia balas menutuk perut Lamkiong Wan tetapi Lamkiong Wan tak gentar. Dengan jurus Peng hui ngo thian atau Mengangkat lurus lima sinar, ia menepis ke samping.

--Bersambung ke Jilid 2- Bab 3
















Kamis, 11 Agustus 2016


LEMBAH NAGA BERMIMPI


Bab 1 : Kejutan


Magrib yang sayu, makin terasa sendu oleh talu genta dan kumandang nyanyian puja-mantra yang syahdu. Demikian suasana vihara atau yang lebih terkenal disebut gereja Siau-lim si, setiap magrib tiba.
Tenang di hati damai di bumi. Demikian ulasan kata untukmelukiskan suasana di gereja yang termasyur sebagai sumber ilmu silat itu.

Tetapi tidak demikian suasana pada magrib itu. Di kala para paderi tengha memusatkan diri dalam alunan doa mantra, sekonyong-konyong terdengar genta bertalu gencar.
Tang…tang…tang…
Tergetarlah hati para paderi itu. Konsentrasi mereka pun pecah. Jelas genta bertalu gencar itu menandakan suatu bahaya atau peristiwa besar telah terjadi di gereja mereka.
Mereka serempak keluar mencari tahu keadaan.

Ternyata memang telah terjadi suatu kejutan dalam gereja Siau-lim si. Pusat dari peristiwa itu terjadi di halaman muka dari Cang-keng-khek atau ruang perpustakaan.
Beratus paderi berdiri tegak, memenuhi halaman itu, mendekap tangan di dada, mulut berkemak-kemik mengucap doa dengan suara perlahan macam kumbang mendengung.

Sementara itu genta masih terus bertalu riuh rendah, membangkitkan suasana tegang.
Beratus mata pader Siau-lim si itu menumpah ruah pada sesosok tubuh kecil yang tegak seperti patung di tengah lingkaran mereka.
Tetapi benda itu bukan patung, bukan pula bangsa setan kecil, melainkan seorang insan manusia. Tepatnya, seorang kacung yang menjadi pembantu dari paderi yang bertugas menjaga dapur pembakaran kertas sembahyangan gereja Siau-lim si.

Kepalanya tidak gundul tetapi masih memelihara rambut. Dengan begitu jelas dia bukan seorang to-thong atau murid paderi, melainkan seorang kacung dari orang biasa.
Pakaiannya pun dari kain kasar, warna kelabu. Dekil dan kotor sekali karena berlumuran abu pembakaran kertas.
Tetapi muka dan pakaian yang kumal kotor itu tiadalah kuasa menutupi wajahnya yang bersemangat dan cerdas.

Tetapi keadaan anak itu tak ubah seperti setan kecil yang mengerikan. Tangannya berlumuran darah merah, mata memandang ngeri kearah empat sosok tubuh yang terkapar di hadapannya.
Keempat sosok tubuh itu tak kalah mengerikan keadaannya. Batok kepala mereka pecah, otak berhamburan, mulut menganga dan mata melotot keluar. Ternyata keempat orang itu sudah mati.

Tiba-tiba dari kerumun barisan paderi itu, tampil keluar seorang paderi bertubuh kurus kering. Dengan langkah bergegas, ia menghampiri keempat sosok mayat itu.
Paderi tua bertubuh kurus itu bukanj lain adalah Thian Mo siansu, kepala paseban Tat-mo tong dari gereja Siau-lim si.

Sehabis melihat keadaan keempat mayat itu, mata Thian Mo siansu berkilat-kilat memancarkan api.
“Hem,” ia mendengus lalu memandang kearah kacung itu dengan mata memberingas.
Ketika pandang mata si kacung beradu dengan mata Thian Mo siansu, pucatlah seketika mukanya. Ia seperti melihat seekor harimau buas yang hendak menerkam sehingga tanpa disadari ia menyurut mundur dua langkah.

“Bilang!” teriak Thian Mo siansu, “dari siapa engkau belajar pukulan Tay-lik-kim-kong-ciang itu?”
Tay-lik-kim-kong-ciang artinya pukulan Malaekat raksasa. Sebuah ilmu pukulan istimewa dari perguruan Siau-lim si.
Beratus-ratus paderi terkejut mendengar ucapan Thian Mo siansu yang begitu tajam dan mengerikan.

Kacung itu pun terbeliak ngeri.
“Engkau dengar tidak?” ulang Thian Mo siansu dengan suara makin keras, “Siapa yang mengajarkan ilmu Tay-lik-kim-kong-ciang kepada mu?”
Kacung itu gelagapan, sahutnya: ..”Ti….dak  ada…..yang mengajar….aku belajar sendiri…murid….tak sengaja membunuh keempat suheng itu…ha…harap….”

Sambil melangkah maju setindak, Thian Mo siansu membentak: “Jawab terus terang! Siapa yang mengajarkan ilmu pukulan Tay-lik-kim-kong-ciang kepadamu? Kalau tidak ada yang mengajarkan, apakah engkau mencuri pelajaran itu?”

Thian Mo siansu seorang paderi yang berilmu tinggi dan berwibawa. Dan kacung itupun seorang anak yang tak pernah bohong. Tanpa memikirkan akibat apa-apa lgi, ia segera mengaku dengan terus terang.
“ Ya, memang murid belajar sendiri dengan mencuri lihat  para suheng yang sedang berlatih. Tiada seorang suhu yang mengajarkan kepada murid.”

Saat itu kembali genta bertalu nyaring dan gencar. Dari jalan di depan halaman tampak serombongan paderi berjubah kelabu, mengenakan kain kasa warna kuning muda bergaris, sedang berjalan menuju ke halaman. Mereka berjumlah belas orang dan rata-rata sudah tua. Mereka adalah paderi-paderi dari paseban Tat-mo tong yang dikepalai oleh Thian Mo siansu.

Di belakang rombongan paderi Tat-mo tong itu itu, tampak seoran paderi yang bertubuh gagah dan segar, diiring oleh empat paderi yang berwajah welas asih.
Paderi berwajah segar itu adalah Thian Beng siansu, ciangbun hongtiang atau ketua dari Siau-lim si sekarang.

Melihat kedatangan ketua Siau-lim si, Thian Mo siansu segera maju menyongsong.
“Harap ciangbun suheng memaafkan karena Thian Mo terlambat menyambut kedatangan suheng,” katanya dengan hormat.
“Ah, harap sute jangan banyak peradatan,” kata Thian Beng siansu, kemudian memandang kacung baju kelabu, “Siapakah yang membimbing anak itu?”
“Anak pengacau itu adalah pembantu dapur pembakaran kertas sembahyangan yang dipimpin Thiat Beng sutit (murid keponakan). Thiat Beng sutit sendiri menderita luka parah juga dari dia.”
Mendengar keterangan itu warna wajah Thian Beng agak berobah. Dipandangnya kacung itu dengan mata berkilat-kilat.
Melihat kepala Siau-lim si, Thian Beng siansu hadir, kacung itu makin gelisah ketakutan. Kini ia menyadari bahwa peristiwa yang telah dilakukan itu benar-benar gawat sekali.
Ia merasa bahwa ia tak sengaja telah kesalahan tangan memukul keempat suheng sehingga keempat orang itu mati secara mengenaskan. Dan ia pun tak mengira bahwa pukulannya ternyata sedemikian dahsyat.
Memang sejak ia  berada di gereja Siau-lim si, boleh dikata setiap hari menjelang peringatan hari Tiong-ciu (pertengahan musim rontok) yang diadakan tiap tiga tahun sekali, tentu terjadi peristiwa berdarah.
Dan saat itu, juga demikian.  Malam itu Siau-lim si tengah sibuk mengadakan persiapan untuk memperingati hari Tiong-ciu dan ternyata pun terjadi peristiwa berdarah lagi. Celakanya peristiwa berdarah kali ini, dialah yang melakukan.
Sebenarnya peristiwa itu takkan terjadi dan dia sendiri pun tak menginginkan terjadi, apabila ia tak terdesak oleh keempat suhengnya yang bertindeak sewenang-wenang hendak membunuh dirinya. Banyak orang yang menyaksikan terjadinya peristiwa itu.

Namun peristiwa telah terjadi. Keempat suhengnya itu telah mati karena tangannya. Ia harus mempertanggungjawabkan peristiwa itu. Dibesarkan nyalidan diberanikan hatinya untuk menghadap ketua Siau-lim si.
“Ciangbun taysu yangmulia, murid bernama Lamkiong Wan…”

“Tutup mulutmu!” bentak Thian Mo siansu sehingga kacung itu tersentak diam, “Sungguh besar sekali nyalimu! Sudah membunuh empat suheng masih mau bicara apa lagi?”
Namun sesaat kemudian,kacung itumenyadari bahwa ia harus bicara untuk membela diri. Maka dengan suara gemetar ia menyahut : “Murid benar-benar tak sengaja….membunuh keempat suheng itu….”

“Ciangbun suheng” kata Thian Mo siansu kepada Thian Beng siansu tanpa menggubris kacung itu, “dia mengaku telah mencuri belajar. Ini sudah melanggar peraturan dari gereja Siau-limsi yang menetapkan, barang siapa berani mencuri   pelajaran silat, akan dihukummati. Paling ringan, urat-uratnya diputus dan diusir dari gereja…”

 Mendengar itu, kepala Lamkiong Wan berdenyut-denyut, pandang mata berbinar-binar. Kejutnya lebih dari dipagut ular atau mendengar halilintar meletus di siang hari. Air matanya serentak bercucuran. Ia segera teringat akan nasibnya yang penuh duka nestapa.

Semenjak kecil ayahnya sudah meninggal dunia. Ia hidup bersama mamahnya dalam kemelaratan, tanpa sanak tanpa keluarga. Tujuh tahun yang lalu ketika ia menyatakan keinginannya untuk mengembara cari pengalaman, mamahnya menangis dan mencegahnya. Mamahnya menganjurkan supaya dia menuju ke vihara Siau-lim si untuk belajar ilmu silat.

“Ayahmu tak mengerti ilmu silat dan orangnya polos,” mamahnya bercerita, “akibatnya ia bertemu dengan kawanan penjahat yang bukan saja merampas dagangannya pun juga merampas jiwanya…”
Mamahnya mengharap, ia dapat belajar ilmu silat agar kelak  jika mengembara, apabila bertemu dengan penjahat, dapat membela diri.

Maka datanglah Lamkiong Wan ke vihara Siau-lim si. Ia diterimamenjadi kacung pembantu dapur pembakaran kertas sembahyangan. Disamping itu, diam-diam ia mempelajari ilmu silat. Tak pernah ia membayangkan bahwa tindakannya mempelajari ilmu silat itu akhirnya akan menimbulkan musibah besar  pada dirinya.

Pada saat Lamkiong Wan sedang terkenang pada nasibnya, Thian Mo siansu melanjutkan laporannya kepada ketua Siau-lim si.
“Dia berani mencuri belajar ilmu pukulan Tay-lik-kim-kong-ciang. Kesalahannya itu harus dihukummati. Apalagi dengan pukulan itu dia berani membunuh empat suhengnya. Dosanya tiada berampun lagi. Harap ciangbun suheng member keputusan.”

Tiba-tiba Lamkiong Wan berteriak kalap: “Tidak, aku tidak mau mati! Aku tidak mau mati! Taysu sekalian adalah orang yang welas asih,mohon taysu sekalian jangan membunuh murid…”
Ia terus berlutut dihadapan ketua Siau-lim si. Air matanya bercucuran deras. Ia menangis.

Sejenak merenung, Thian Beng siansu menjawab sutenya:”Peraturan perguruan kita memang keras. Karena telah melanggar beberapa pantangan dalam peraturan kita, anak itu tentu tak dapat dibebaskan dari hukuman”

Lamkiong Wan menjerit makin keras: “Taysu, kasihanilah murid yang masih mempunyai seorang ibu yang sudah tua . Jika aku mati, ibuku tentu menderita sekali dan tentu tak mau hidup lagi. Taysu, jangan membunuh aku, jangan membunuh aku…”

“Murid-murid Tat-mo tong, ringkuslah pengkhianat itu!” Thian Mo siansu segera memberi perintah.
Kedelapan belas paderi dari Tat-mo tong itu segera maju mengurung Lamkiong Wan.

Lamkiong wan menangis gerung-gerung, teriaknya: “Obat takkan membunuh penyakit, Buddha datang pada orang yang berjodoh. Manusia tak lepas dari kesalahan. Tahu kesalahan dan dapat memperbaiki, adalah suatu dharma yang besar. Taysu sekalian adalah paderi-paderi yang luhur dan suci, sudilah member ampun atas kesalahan murid…”

“Mengapa tidak lekas turun tangan, mau tunggu apa lagi?”teriak Thian Mo siansu.
Sambil berseru “Omintohud” kedelapan belas paderi Tat-mo tong itu segera bergerak.
Melihat itu hancurlah hati Lamkiong Wan,ia tahu permohonannya ditolak. Tangisnya makin keras dan memilukan hati. Akhirnya ia berteriak:
“Mamah! Ampunilah puteramu yang tak berbakti ini. Aku tak dapat merawatmu sampai di hari tua!”
Ratapan itu dilantangkan dengan nada pilu dan putus asa, bagaikan irama khim (harpa) yang melengkingkan lagu sedih di tengah malam.

Walaupun kedelapan belas paderi Tat-mo tong itu berhati baja, beriman kokoh dalam pendiriannya mematuhi peraturan gereja namun mereka tetap manusia yang terdiri darah dan daging. Sejenak mereka berhenti, kemudian pada lain saat maju pula.

Mendadak sepasang mata Lamkiong Wan memancarkan sinar memberingas yang mengejutkan dan serentak  mulutnya pun membentak nyaring: “Berhenti!”
Sedfemikian dahsyat bentakan Lamkiong Wan sehingga tanpa disadari kedelapan belas paderi Tat-mo tong itupun serempak berhenti.

Thian Beng siansu dan Thian Mo sdiansu yang merupakan tokoh-tokoh terkemuka dari Siau-lim si dewasa itu, seketika berobah warna mukanya demi mendengar bentakan Lamkiong Wan. Bentakan anak itu mengandung suatu daya tenaga dahsyat yang penuh wibawa, mirip dengan sebuah ilmu bentakan tenaga dalam sakti yang disebut Say-cu-ho atau raung singa, yang terkenal dalam dunia persilatan.

Tetapi pada lain kejap, kedua pimpinan Siau lim si itu menyadari bahwa tak mungkin kacung itu dapat melancarkan ilmu bentakan Say-cu-ho,karena ilmu Say cu ho harus dilancarkan dengan tenaga dalam sakti yang membutuhkan waktu paling sedikit sepuluh tahun untuk berlatih. Padahal kacung itu baru tujuh tahun diterima di Siau-lim si. Taruh kata begitu masuk terus belajar silat, tetap tak mungkin dapat memiliki tenaga dalam yang sedemikian saktinya.

“Aku telah meratap-ratap memohon belas kasihan kepada kalian tetapi ternyata kalian tak memperdulikan sama sekali. Sekalipun aku harus mati tetapi tak semudah itu kalian dapat membunuhku,” seru Lamkiong Wan.
Dengan menggertak gigi, kembali dia berseru geram: “Siapa yang menyingkir tentu hidup,yang menghadang tentu mati!”
Bagai seekor harimau yang keluar dari kandang, ia menerjang kedelapan belas paderi Tat-mo tong itu.

“Lamkiong Wan!” teriak kawanan paderi Tat-mo tong, “Engkau berani melawan!”
Tiga paderi Tat-mo tong cepat mencengkeram bahu kacung itu. Melihat itu dengan mata berapi-api, Lamkiong Wan segera balas menghantam. Segulung angin pukulan menderu-deru melanda ke dada paderi Tat-mo tong itu.

Kedelapan belas paderi Tat-mo tong itu merupakan paderi dari angkatan yang bergelar Thiat. Dengan membanggakan ilmu kepandaiannya yang tinggi, sudah tentu mereka tak memandang mata terhadap kacung pekerja dapur pembakaran kertas sembahyangan itu.

Maka paderi yang diserang Lamkiong Wan itu segera membalikkan tangan untuk mrenangkis. Tetapi seketika itu ia rasakan suatu tenaga dalam yang menyerupai gunung rubuh melandanya. Ia hendak menyingkir tetapi sudah terlambat. Sekali mendeluh, tubuhnya terlempar  sampai setombak lebih jauhnya.

Serempak pada saat itu, kedua paderi yang menerkam dari kanan dan kiri, pun telah ditutuk dengan jari dan ditendang. Kedua paderi itu terdesak dan loncat mundur.
Setelah dalam satu gebrak dapat mengundurkan tiga paderi Tat-mo tong yang sakti, Lamkiong Wan pun menerobos keluar dari kepungan.

Peristiwa itu benar-benar mengejutkan sekali. Seorang kacung dapur pembakaran kertas, dalam satu gebrak saja dapat menghalau tiga paderi golongan kojiu atau jago sakti dari Tat-mo tong.
Terdengar gemuruh suara Omintohud. Paderi-paderi dari paseban Lo-han tong yang berada di lapisan luar dari kepungan paderi-paderi Tat-mo tong, telah berhantam dengan Lamkiong Wan.

Sikap kacung itu tak ubah sebagai seekor binatang buas. Sepasang matanya memancar sinar dingin yang penuh dendan keganasan. Seraya mengangkat tangan kanannya,ia segera menghantam sepenuh tenaga kearah enam paderi Lo-han tong yang menghadang di hadapannya.

“Blaaang……!”
Terdengar letupan keras. Mulut Lamkiong Wan bersuit keras dan tubuhnya terlempar ke udara. Tetapi ketika di udara kacung itu berjumpalitan lalu meluncur turun kesamping melampaui kepala paderi yang berada di samping dan tahu-tahu telah menerobos keluar dari kepungan.
Para paderi Lo-han tong itu terlongong-longong menyaksikan kepandaian Lamkiong Wan.

Selekas menginjak tanah, kacung itu segera lari sekencang-kencangnya. Tetapi baru mencapai sepuluh tombak, tiba-tiba terdengar suara orang membentak keras: “Pemberontak, engkau mampu lolos?”
Dari gerumbul pohon bambu yang gelap, muncul seorang paderi yang langsung menendang perut Lamkiong wan.

Namun anak itu tak gentar, setelah berajak mengegos kesamping, cepat ia gunakan pukulan penembus hati, menghujam ke dada lawan. Deru angin pukulan itu bagaikan ombak samudera yang mendampar pantai.

Paderi itu seorang kojiu dari angkatan Thiat. Dia cukup tahu akan kelihayan pukulan Lamkiong Wan. Dengan tertawa dingin, dia segera loncat mundur beberapa langkah. Kesempatan itu tak disia-siakan Lamkiong Wan yang segera tancap gas lari seperti anak panah terlepas dari busur.

Saat itu Lamkiong Wan hanya mempunyai satu tekad, menyelamatkan diri. Tiap kekuatan langkah kaki, tiap kesempatan hidup, betapapun kecilnya, harus ia pergunakan sebaik-baiknya. Lari, lari..ya lari secepat kilat menyambar, halilintar memancar.

Sudah tujuh tahun lamanya Lamkiong Wan tinggal di vihara Siau lim si, maka ia faham sekali akan keadaan setiap tempat di lingkungan vihara itu. Dalam beberapa kejap, tibalah ia di tembok vihara sebelah barat.
Kembali genta bertalu gencar melantangkan bahaya.

Tiba-tiba dari sebuah pondok yang terletak dekat tembok sebelah barat itu, muncul sesosok bayangan warna kelabu. Cepat sekali bayangan itu bergerak menghampiri. Melihat itu bukan kepalang terkejut Lamkiong Wan.

Namun sudah bulat tekad Lamkiong Wan. Rawe-rawe rantas, malang-malang putung. Barang siapa yang menghadang jalannya, pasti akan diterjang. Demikian pula dengan bayangan kelabu yang ternyata seorang paderi tua itu. Pada saat mengangkat kaki dalam gerakannya lari itu, Lamkiong Wan melanjutkan sekali dengan menendang ke perut paderi tua itu, kedua jari tangan kirinyapun serempak menusuk dada orang.

Ternyata paderi tua itu hebat sekali ilmu kepandaiannya. Sambil mengendapkan tangan ke bawah, tubuhnya pun condong kesamping. Dan pada jarak hanya terpaut seujung ramputlah ia dapat terhindar dari tendangan dan tutukan Lamkiong Wan. Bahkan kini anak itu yang terkejut sekali karena pergelangan tangannya sudah dicengkeram orang.
Ilmu Soh-liong jiu atau tangan  menjepit naga dari paderi tua itu luar biasa hebatnya.

“Mati aku sekarang….” Lamkiong Wan merintih dalam hati.
Tiba-tiba paderi tua itu mendesuh kejut: “Apakah engkau bukan Kiong Wan?”
Lamkiong Wan memandang kemuka. Dilihatnya paderi tua itu rambut dan jenggotnya sudah putih, berwajah penuh welas asih. Air mata Lamkiong Wan berderai-derai.
“Lo-siansu, mohon segera lepaskan aku…” serunya dengan nada gemetar.

Paderi tua berambut putih itu adalah suheng dari ketua Siuau-lim si yang sekarang. Thian Lo siansu, demikian gelarnya. Diantara paderi tua angkatan Thian, dialah yang paling tinggi kepandaiannya. Seorang paderi yang berbakat cemerlang tapi tak temaha nama dan kedudukan, tak mau menjabat pimpinan Siau-lim si dan hidup menyendiri dalam sebuah pondok dekat tembok vihara sebelah barat.

Memang biasanya Lamkiong Wan sering datang ke pondok Thian Lo siansu untuk menemaninya main catur. Lama kelamaan timbul rasa suka paderi tua itu terhadap Lamkiong Wan. Keduanya telah menjalin suatu hubungan yang amat dirahasiakan. Tiada seoarngpun yang tahu apa yang dilakukan Thian Lo-siansu kepada anak itu.

Mendengar suara genta bertalu gencar dan pekik teriakan yang hiruk pikuk dari arah belakang, wajah cerah dari paderi tua itu agak berobah warnanya.
“Lamkiong Wan, engkau telah melakukan kesalahan apa?” tegurnya dengan nada sarat.
Dengan suara beriba-iba Lamkiong Wan menyahut: “Aku…telah kesakahan tangan membunuh suheng dan mencuri belajar silat….kunohon lo-siansu suka bermurah hati memberi jalan hidup. Budi pertolongan lo-siansu takkan kulupakan selama-lamanya…”
Air mata anak itu bercucuran deras, nada suaranya pilu menyayat hati.
Sekonyong-konyong Thian Lo-siansu membentak keras: “Dosa besar. Harus mati!”

Seketika tubuh Lamkiong Wan seperti ditarik oleh sebuah arus tenaga yang amat kuat sehingga ia terlempar ke udara, melayang melampaui tembokvihara yang tinggi.
Tetapi selekas tiba di tanah, segera Lamkiong Wan mendengar gema suara tertawa menyeramkan. Tahu-tahu dihadapannya tegak seorang paderi bertubuh kurus kering atau Thian Mo siansu, ketua dari paseban Tat-mo tong.
Kejut Lamkiong Wan lebih dari disambar petir.

“Pengkhianat, apakah engkau mampu melarikan diri?” seru Thian Mo siansu dengan nada dingin seraya ayunkan tangannya menghantam. Pukulan itu menimbulkan deru angin yang dahsyat.
Melihat itu timbullah kenekadan Lamkiong Wan. Lebih baik ia songsong saja dengan pukulan agar tenaga lawan tidak terlalu berat menekan dirinya. Keputusan itu segera dilaksanakan dengan sebuah loncatan kemuka untuk menangkis.

Sudah tentu tenaga dalam paderi yang berkepandaian setinggi Thian Mo siansu itu hebat sekali. Walaupun dapat menangkis, tetapi isi dada Lamkiong Wan terasa bergolak-golak dan tubuhnyapun terhuyung-huyung mundur sampai lima langkah. “Huak….” Ia muntah darah dan jatuh duduk di tanah.

Thian Mo siansu telah menggunakan enam bagian dari tenaga dalam pada pukulannya itu. Ia yakin kacung itu tentu mampus. Tetapi alangkah kejutnya ketika Lamkiong Wan masih hidup.
Lamkiong Wan merasa bahwa ia telah menderita luka dalam yang parah. Diam-diam ia meratap : “Habislah riwayatku sekarang! Bantuan Thian Lo-siansu tadi tetap tak mampu menyelamatkan diriku…”

Selepas rasa kejut, wajah Thian Mo siansu memberingas memancarkan cahaya pembunuhan.
“Pemberontak, bilang sejujurnya, siapa yang mengajarkan ilmu silat kepadamu!” bentaknya dengan keras.

Sudah tentu dia tak percaya bahwa seorang kacung dapur pembakaran kertas sembahyangan mampu menguasai ilmu silat  yang sedemikian mengejutkan hanya dengan mencuri lihat murid-murid lain berlatih silat.
Dalam belajar ilmu silat harus mempunyai tiga syarat penting: bakat, guru, waktu.

Walaupun memiliki bakat yang luar biasa hebatnya, tanpa mendapat bimbingan guru yang tepat tentu sukar untukmenguasai ilmu kepandaian yang tinggi. Pun walaupun mempunyai guru yang sakti, menilik umurnya yang masih begitu muda, taruh kata sejak lahir sudah belajar silat, pun kacung itu dalam usianya yang belum cukup dua puluh tahun,tetap takkan sehebat itu.
Lamkiong Wan tertawa dingin.
“Mencuri di belakang” sahutnya, “Mengapa bertanya lagi?”
Karena gusarnya, wajah Thian Mo siansu sampai merah padam, mata melotot dan tiba-tiba ia ayunkan kakinya menendang tenggorokan anak itu.

Lamkiong Wan masih berusaha miringkan kepala untuk menghindar lalu gerakkan tangan untuk menutuk tiga buah jalan darah di kaki paderi itu.
Makin terkejutlah Thian Mo siansu melihat gerakan anak itu. Kiranya anak itupun mampu juga menggunakan ilmu Can-liong jiu atau Tangan penebas naga. Dengan begitu jelas anak itu telah mempelajari sebagian besar dari ilmu pusaka Siau-lim si! Adakah dia memang murid partai persilatan lain yang sengaja diselundupkan kedalam vihara Siau-lim si?

Timbulnya prasangka itu membangkitkan nafsu pembunuhan dalam hati Thian Mo. Segera ia gunakan jurus Yang-koan thian thian siang atau Menengadah memandang cakrawala untuk merebahkan diri kebelakang.
Saat itu Lamkiong Wan rasakan samping tubuhnya berhembus angin lembut tetapi ternyata hembusan angin lembut itu berasal  dari tubuh Thian Mo siansu yang berputar-putar melingkar kesamping kirinya. Lamkiong Wan cepat melenting bangun dan balas memukul.

Thian Mo siansu tertawa dingin. Cepat ia menekuk siku lengannya kebawah untuk menutuk lambung kacung itu.
Bermula paderi kepala paseban Tat-mo tong itu hendak membunuh Lamkiong Wan tetapi kini ia merobah putusannya. Kini dia hendak menangkap kacung itu dan memaksanya supaya memberi  keterangan partai mana yang mengirim dia menyelundup ke Siau-lim si. Jika sebelumnya tiada mempunyai bekal kepandaian, tak mungkin anak itu ddapat mencuri dan memahami ilmu pusaka Siau-lim si. Pikirnya.
Berturut-turut Lamkiong Wan harus melakukan tiga jurus gerak baru dapat menghindari tutukan Thian Mo siansu.

Tiba-tiba telinga Lamkiong Wan terngiang suara yang amat lembut : “Kiong Wan, lekas mundur ke tembok. Aku akan membantumu, kalau tidak, tak sampai sepuluh jurus saja engkau tentu sudah ditangkapnya”
Tersentak kaget Lamkiong Wan mendengar suara lembut itu. Memandang keempat penjuru ia tak melihat barang seorang pun.

Saat itu dua buah pukulan Thian Mo siansu kembali melanda tiba sehingga anak itu terdesak mundur sampai empat langkah.
Lamkiong Wan taka sing lagi bahwa suara lembut itu adalah nada suara Thian Lo-siansu. Melihat bahwa Thian Mo siansu tak mengetahui hal itu, Lamkiong Wan cepat menduga bahwa Thian Lo siansu tentu menggunakan Toan im jip si atau ilmu menyusup suara yang dilambari tenaga dalam tinggi. Tak ragu lagi ia segera mundur mepet tembok.
Tiba-tiba  suara lembut itu mengiang di telinganya pula : “Jangan engkau bergerak lagi, akan kubantumu mengundurkannya.”
Melihat kacung itu mundur sampai mepet tembok, diam-diam Thian Mo siansu menghimpun tenaga dalam kearah tangan lalu pelahan-lahan mengangkatnya keatas.
Tahu bahwa tiada jalan mundur lagi, Lamkiong Wan menyadari bahwa kali ini dia tentu mati. Ia hendak bergerak menghindar tetapi teringat akan pesan Thian Lo siansu.

Dalam kebimbangan tiba-tiba ia rasakan dari tembok itu mengalir arus hawa yang hangat  mengalir kedalam jalan darah Beng bun hiat di punggungnya lalu menyebar keseluruh tubuh. Seketika semangatnya menggelora. Dengan menggembor keras ia segera dorongkan kedua tangannya kemuka.

Sebenarnya hantaman Thian Mo siansu tadi bukan hendak memukulnya sungguh-sungguh melainkan hanya suatu gerak ancaman kosong agar segera berganti jurus untuk menangkapnya. Maka iapun tidak menggunakan tenaga penuh.

Ternyata Lamkiong Wan tak mau beringsut dari tempatnya. Terpaksa Thian Mo pun hendak berganti jurus untuk mencengkeramnya. Tetapi saat  itu Lamkiong Wan sudah mendahului mendorongkan kedua tangannya. Kejut Thian Mo bukan kepalang. Lebih kaget pula ketika ia merasakan betapa dahsyat gelombang dorongan tangan anak itu yang melanda dirinya. Buru-buru paderi itu kerahkan tenaga dalam ke lengan kanan untuk menangkisnya.
“Praaak….”
Tidak keras suara yang timbul dari benturan tangan mereka tetapi Thian Mo siansu terdengar mendesuh tertahan, bahunya bergetar dan menyurut mundur selangkah.

Paderi tua kepala paseban Tat-mo tong itu tegak berdiri terlongong-longong meandang Lamkiong Wan. Sinar matanya berkilat-kilat, entah memancarkan rasa kejut atau dendam.
Sudah tentu Lamkiong Wan ngeri melihatnya.

Tiba-tiba telinganya terngiang pula suara lembut :” Kalau tak lekas kabur, mau tunggu apa lagi. Aku kali ini telah melanggar peraturan untuk membantumu. Dosaku besar sekali. Tetapi kalau tidak karena sayang melihat bakatmu yang hebat sehingga secara diam-diam kuberimu ilmu pelajaran, tentulah tak bakal terjadi peristiwa seperti hari ini. Selanjutnya engkau harus hati-hati menjaga diri. Anak murid Siau-lim si tersebar luas dimana-mana, sebaiknya engkau merahasiakan jejakmu, pergilah!”

Saat itu tegang sekali perasaan Lamkiong Wan. Ia teringat bagaimana setiap kali mencuri lihat murid-murid Siau-lim si sedang belajar silat, apalagi dia tak mengerti maka dalam kesempatan menemani Thian Lo siansu main catur, ia tentu meminta penjelasan dan petunjuk.

Belum habis dia melamun tiba-tiba dari belakang tembok mendampar pula gelombang tenaga dalam dahsyat. Lamkiong Wan tersadar, cepat ia memanfaatkan bantuan tenaga itu untuk loncat ke udara.
Berkat arus tenaga dahsyat tadi maka dapatlah ia melambung samapi dua tombak tingginya. Kemudian ia berjumpalitan dan melayang turun sejauh empat tombak dari tembok vihara,terus lari sekencang-kencangnya lenyap kedalam rimba.

Melihat ilmu ginkang Lamkiong Wan sedemikian sakti, hati Thian Mo siansu makin tersayat. Huak..ia muntah darah, tubuhnya menggigil, Jelas dia telah menderita luka dalam yang parah sehingga hampir rubuh.

Dalam pada itu Lamkiong Wan tak memperdulikan lagi lukanya yang berat. Ia tahu bahwa tanpa bantuan paderi Thian Lo yang baik budi, tentulah ia sudah mati di tangan Thian Mo siansu. Dan apabila sampai tertangkap lagi, jelas dia tentu akan menerima hukuman mati.
Bukan karena ia takut mati, tetapi kalau ia mati siapakah yang akan merawat ibunya  yang sudah tua itu?

Teringat akan nasibnya selama ini, air matanya bercucuran. Seketika teringatlah ia akan kata-kata ibunya yang sudah berambut putih: “Anakku, setelah engkau diterima di vihara Siau-lim si , engkau harus dapat menahan segala penderitaan. Keluarga Lamkionghanya tergantung pada dirimu seorang. Oleh karena itu jiwamu lebih penting dari segala apa. Sebenarnya aku tak ingin engkau menderita, ah,,tetapi….”
Teringat akan hal itu seketika Lamkiong Wan berteriak keras:”Mah, aku tak maumati, aku tak mau mati! Aku akan pulang untuk merawatmu sampai di akhir hayat…”

Suasana daerah gunung di tengah malamsungguh menyeramkanm. Pohon-pohon siong berderak-derak macam jeritan hantu. Binatang-binatang sahut menyahut mengumandangkan bunyi yang mengerikan. Tetapi Lamkiong Wan tak menghiraukan hal itu. Ia lari terus, siang malam tanpa berhenti. Setelah tiga hari tiga malam lari seperti dikejar setan, akhirnya ia dapat melintasi juga baris gunung yang berderet-deret.

Saat itu bintang mulai pudar, bulan pun susut dan kegelapan malam mulai terkuak. Jauh disebelah muka tampak sebuah kota kecil. Lamkiong Wan tak dapat menahan rintihan perutnya yang kosong. Tiba-tiba ia teringat bahwa dirumahnya tiada barang persediaan apa-apa. Seketika ia berhenti dan tertegun.

Waktu lari dari Siau-lim si ia tak membawa bekal apa-apa kecuali pakaian yang melekat dibadannya itu. Setelah lari sampai empat hari, pakaiannya yang sudah butut itu, compang camping tak keruan.
Kembali ia menitikkan beberapa tetes air mata.
“Ah,” ia menghela napas. Ia segera ayunkan langkah menuju ketempat yang atapnya tampak membubung asap. Dalam keadaan seperti saat itu, terpaksa ia harus tebalkan muka untuk meminta nasi kepada orang.

Setelah menyusur jalan kecil dan menyusuri bukit yang naik turun kemudian menyusup sebuah hutan, ia melihat sebuah jembatan batu. Aliran yang berada dibawahnya bening sekali airnya. Pada ujung disebelah muka hutan, tampak sebuah halaman dari sebuah gedung besar.

Hebat juga bangunan gedung itu. Pintu gapuranya berwarna merah, alat penutup pada pintu itu berbentuk sepasang kepala harimau dari bahan tembaga, mulut harimau itumenggigitbesi bundar kancing pintu. Di kedua samping pintu, dihias dengan sepasang singa batu sehingga menambah perbawa.Pohon-pohon tua yang tinggi dan rindang menaungi pagar temboknya yang tinggi.

Pintu terkancing dan suasana gedung itu sunyi sekali. Lamkiong Wan hanya mondar mandir diluar pintu gerbang, tak  berani mengetuk. Rupanya terpengaruh juga pikirannya akan keadaan gedung itu.
Tetapi menunggu sampai matahari naik tinggi tetap belum tampak muncul sesorang dari gedung itu. Apakah gedung ini kosong? Pikir Lamkiong Wan. Tetapi jelas tadi pagi dibagian belakang gedung itu mengepulkan asap. Tentu terdapat penghuninya.

Menengadahkan muka, Lamkiong Wan melihat diatas pintu gerbang terdapat empat buah huruf berbunyi Gedung besar keluarga Li.
Pagar tembok gedung yang berwarna hitam menambah keseraman suasana gedung itu. Sebenarnya Lamkiong Wan pun enggan berada disitu tetapi karena ia sudah terlanjur menunggu lama dan perutnya makin merintih-rintih, sudah tentu ia tak mau begitu saja pergi tanpa hasil apa-apa. Maka ia memberanikan diri untuk mendebur pintu besar. Tetapi tiada penyahutan suatu apa. Diulangnya pula sampai dua kali, tetap sepi-sepi saja. Akhirnya ia mendorong, krieeet,….ah,ternyata pintu itu hanya ditutup tetapi tidak dikunci.

Selekas pintu besar terbuka, seorang nenek tua segera muncul. Kejut Lamkiong Wan bukan alang kepalang. Wajah nenek itu luar biasa jelek dan mengerikan. Bertubuh tinggi besar tetapi bungkuk, pinggang melengkung, kaki pincang, muka psek, mulut lebar, dagu menonjol kemuka, kedua pipi menggelembung keatas, rambut merah bertebaran pada bahu.

Nenek rambut merah itu membawa sebatang tongkat dari rotan wulung. Melihat Lamkiong Wan,ia segera menyeringai sehingga tampak  deret giginya yang kuning. Rupanya ia tersenyum memandang pendatang anak muda itu, tetapi ya ampun…senyumnya lebih menusuk mata daripada orang menangis.

Tanpa berkata apa-apa Lamkiong Wan berputar tubuh terus angkat kaki. Tetapi alangkah kejutnya ketika, entah dengan gerak apa, tahu-tahu nenek jelek itu sudah menghadang didepannya lagi.
Lamkiong Wan terbeliak. Sungguh tak pernah disangkanya kalau nenek berwajah buruk itu memiliki ilmu gin-kang sedemikian luar biasa. Mengamati wajah nenek itu sekali lagi, Lamkiong Wan melihat sepasang mata nenek berambut merah itu memancarkan sinar berkilat-kilat tajam, menandakan hawa murni yang penuh. Jelas tentu seorang kojiu atau jago sakti dari dunia persilatan.

Mulut nenek berambut merah itu kembali menyeringai senyum lalu berkata perlahan-lahan, “Bukankah engkau hendak  mencari keluarga Li. Mari kuantar masuk!”
Lamkiong Wan tertawa meringis.
“Terima kasih, nenek. Sebenarnya aku hanya kebetulan saja lewat di tempat ini, karena….karena….” kata Lamkiong Wan tersendat-sendat.
Sebenarnya ia hendak merangkai cerita bahwa dirinya telah dibegal orang, sehingga bekal uangnya habis dirampas. Tetapi dia tak biasa bohong maka sukarlah untuk mengatakan hal itu.

Tiba-tiba pintu merah dihalaman dalam terbuka dan keluarlah seorang bujang perempuan setengah tua, dengan sikap ramah ia berseru: “ Tong siangkong, majikan kami mengundang tuan masuk,”
Kembali Lamkiong Wan terbeliak. Mengapa dirinya dipanggil Tong siangkong atau Tuan Tong oleh perempuan itu.
“Aku seorang pejalan yang secara kebetulan saja lewat di tempat ini. Maaf aku tak kenal dengan majikan rumah ini,” sahutnya.

Dalam pada pembicaraan itu berlangsung, Lamkiong Wan sempat memperhatikan bahwa nenek berambut merah tadi sudah lenyap entah kemana. Sudah tentu kejut Lamkiong Wan bukan kepalang. Ia tak tahu dan tak mendengar suara apa-apa ketika nenek berambut merah itu pergi.

Bujang perempuan setengah tua tertawa, serunya :” Delapan penjuru dunia ini adalah sesama umat manusia, mengapa harus membedakan kenal dan tidak kenal? Apalagi siangkong mempunyai nama yang termasyhur di seluruh dunia. Majikan kami menunggu kunjungan tuan di ruang besar!”

Untuk kesekian kalinya Lamkiong Wan tertegun. Jika bujang wanita itu halus dan sopan santun tutur bahasanya, tentulah majikannya seorang yang terpelajar. Karena orang telah mengundangnya, iapun tak enak hati menolak. Walaupun tahu bahwa dalam hal itu terdapat suatu keganjilan tetapi karena perutnya lapar sekali, ia tak menghiraukan apa-apa lagi. Pokoknya ia dapat makan dulu.
“Karena majikanmu sedemikian baik hati,” katanya, “Terpaksa minta tolong toasoh suka mengantarkan.”

Lamkiong Wan segera mengikuti bujang perempuan itu masuk. Setelah melintasi sebuah halaman luas yang penuh ditumbuhi rumput, merejka masuk ke dalam sebuah gedung besar, serambinya berpagar. Keadaan tempat itu tak terurus sama sekali, menunjukkan suatu gejala seperti pemiliknya dalam keadaan yang menyedihkan.

Alat-alat perabot dalam gedung itu pun serba sederhana, hanya beberapa kursi dan meja pat sian coh (berbentuk segi delapan) yang terbuat dari kayu mahoni.
Bujang perempuan mempersilakan Lamkiong Wan duduk dan segera  menghidangkan secangkir teh, katanya: “Harap siangkong tunggu sebentar, akan kuberitahukan kepada majikan.”

Ruang gedung yang sedemikian besar, sama sekali tak terdengar suara orang lelaki, begitu pula kokok ayam dan gonggong anjing. Keadaannya sunyi sekali. Sedemikian sunyi hingga Lamkiong Wan dapat mendengar suara napasnya sendiri.
Diam-diam dia heran.