LEMBAH NAGA BERMIMPI
Jilid 1
Bab 2: Gedung Tua Misterius
Lebih kurang seperminum teh lamanya,
dari belakang pintu aling muncul dua orang wanita, yang dimuka ialah bujang
perempuan setengah tua tadi sedang dibelakangnya juga seorang wanita berumur
40-an tahun, mengenakan pakaian dari sutera hitam, sikapnya angkuh sekali.
Walaupun sudah setengah tua tetapi
masih tampak gaya perbawanya. Tentulah dulu ketika masih muda dia seorang gadis
yang cantik sekali. Hanya sikapnya tampak angkuh dan dingin.
Menduga bahwa wanita itu tentulah
pemilik gedung, buru-buru Lamkiong Wan berdiri member hormat.
Sepasang mata yang indah dari wanita
itu memandang Lamkiong Wan beberapa jenak, baru tertawa, ujarnya: “Siangkong
gagah dan berisi, mempunyai bakat luar biasa. Sungguh seorang ahli lwekang yang
sukar dicari keduanya. Silahkan siangkong ikut aku menemui majikan.”
Lamkiong Wan terlongong. Siapakah
wanita itu? Mengapa sekali pandang saja sudah tahu kalau dirinya memiliki ilmu
silat? Dan siapakah majikannya itu?
Lamkiong Wan tak dapat mengatakan
apa-apa kecuali menurut saja. Setelah melewati pintu aling, mereka masuk
kedalam ruang kedua. Alat perabot disitu lebih bersih dari ruang besar dimuka
tadi. Tetapi suasananya serupa sepinya.
Wanita baju hitam itu bertepuk tangan
dan tak berapa lama dari bilik di belakang ruang itu muncul seorang wanita baju
putih. Cantik sekali. Kulitnya putih halus seperti salju dan dengan langkah
yang ringan ia menghampiri kemuka Lamkiong wan dan memandangnya terus menerus.
Beberapa saat kemudian baru ia berpaling kepada wanita baju hitam itu.
“Benar, mari kita antarkan dia
menghadap majikan,” serunya.
Kali ini Lamkiong Wan benar-benar
bingung. Ia tak mengerti keluarga apakah penghuni gedung itu. Kedua wanita baju
putih dan hitam itu, serba misterius.
Baru saja mengalami guncangan batin
lolos dari gereja Siau-lim si, sudah tentua dia kehilangan faham menghadapi
keadaan saat itu. Ia hanya menurut saja mengikuti kedua wanita itu menuju ke
ruang yang ketiga.
Suasana dalam ruang ketiga itu juga
aneh. Alat-alat perabotnya lebih bagus dari ruang kedua. Kedua dinding ruang
penuh tergantung lukisan-lukisan dari pelukis ternama, bersemarak menyedapkan
mata. Meja kursi yang terbuat dari galih pohon tho, amat bersih sekali.
Setelah mempersilahkan Lamkiong Wan
duduk, kedua wanita itu lalu bertepuk tangan dan dari arah belakang ruang,
muncul seorang dara membawa hidangan teh wangi, kemudian kembali masuk kedalam
lagi.
Tak berapa lama terdengar bunyi
gemerincing gelang dan bau harum yang semerbak. Dari belakang ruang itu muncul
seorang wanita pula. Wanita baju hitam dan putih tadi segera bangkit
menyongsong.
Lamkiong Wan juga ikut berdiri.
Diperhatikannya wanita yang baru muncul itu berumur sekitar tiga puluh tahun,
mukanya bulat telur, kecantikannya mempesona. Dia mempesona. Dia mengenakan
baju leher panjang warna biru muda, berdiri dihadapannya.
Juga seperti wanita baju hitam dan
baju putih tadi, wanita baju biru muda itu memandang Lamkiong Wan dari ujung
kaki sampai keatas kepala sehingga Lamkiong Wan risih juga.
Beberapa saat kemudian baru wanita itu
berpaling dan member perintah kepada bujang dibelakangnya: “Siapkan perjamuan!”
Setelah itu ia memberi isyarat agar
Lamkiong Wan dan kedua wanita baju hitam dan putih duduk. Ketiga wanita itu
duduk diam.Mereka tak bicara apa-apa melainkan tak henti-hentinya memandang
Lamkiong Wan.
Lamkiong Wan makin risih. Ia seperti
duduk diatas kursi berduri. Akhirnya ia mempunyai kesimpulan bahwa ketiga
wanita itu tentu salah faham, menuangka dirinya sebagai orang yang diharap kedatangannya.
Sebuah gedung yang sedemikian besar,
yang ada hanya penghuni-penghuni wanita, sama sekali tiada orang lelakinya. Dan
wanita wanita itu sedemikian dingin sikapnya, cantik tetapi gerak geriknya
serba misterius. Sebagai seorang anak muda yang baru pertamakalikeluar dari
perguruan, Lamkiong Wan tak punya pengalaman apa-apa. Karena yang punya rumah
diam saja, iapun juga diam. Sebenarnya ia ingin bicara tetapi tak tahu akan
ngomong apa.
Tak berapa lama diatas meja telah
dipersiapkan hidangan yang lezat-lezat tetapi sumpitnya hanya sepasang. Ketiga
wanita itu mempersilahkan Lamkiong Wan duduk ditengah, menuangkan arak lalu
kembali ke tempat duduknya semula. Dengan begitu jelas, hidangan sekian banyak
dan macam-macam itu hanya diperuntukkan dirinya seorang.
Lamkiong Wan memang lapar sekali. Maka
tanpa sungkan lagi ia terus melahap hidangan itu dengan rakus.
Caranya makan benar-benar menimbulkan
kesan bahwa dia seperti orang yang sudah
beberapa hari tak menelan makanan. Ia
sendiri menyadari bahwa hal itu kurang layak, tetapi bagaimana lagi. Ia hanya
tertawa meringis.
Walaupun pakaiannya compang camping
tetapi sepasang matanya yang bening dan bersinar, wajahnya yang tampan dan gagah, penuh dengan gaya
sifat lelaki yang perkasa. Melihat Lamkiong Wan tertawa, ketiga wanita itupun
agak tergerak hatinya.
“Terima kasih sekali atas kebaikan
toa-soh kalian yang telah menjamu aku. Maaf, karena masih mempunyai urusan
penting terpaksa aku harus menlanjutkan perjalanan dan tak lama-lama disini
merepotkan toasoh sekalian. Terima kasih dan mohon diri,” seru Lamkiong Wan
dengan nyaring setelah perutnya kenyang.
Wanita baju biru kerutkan alis tetapi
pada lain saat ia tertawa mengikik, serunya: “Tong siangkong, lancar bicara,
tegas bertindak. Sungguh seorang jago muda yang menggemparkan dunia persilatan.
Tetapi dari daerah Tangpak yang jauhnya ribuan li datang ke daerah Tionggoan,
masa kan Tong siangkong tak mau lebih dulu bertemu dengan majikan kami dan
terus hendak berangkat lagi?”
Lamkiong Wan tertegun.
“Apakah kalian masih mempunyai majikan
lagi,” serunya terkejut.
Bermula ia mengira kalau wanita baju
biru itulah pemilik gedung. Setitikpun tak disangkanya kalau bujkan. Lalu
siapakah pemilik gedung yang
sesungguhnya? Karena mereka keliru menyangka
dirinya sebagai Tong siangkong, maka biarlah ia berpura-pura mengaku begitu.
Pali8ng banyak , apabila Tong siangkong itu datang, dia segera angkat kaki dari
situ. Demikian ia menimang-nimang.
“Baiklah, kalau begitu harap toasoh
suka membawa aku menghadap pemilik gedung ini agar aku dapat menghaturkan
terima kasih,” kata Lamkiong Wan.
Wanita baju biru tertawa: “ Rupanya
tentu tuan habis melakukan perjalanan jauh sehingga wajah tuan penuh debu
kotoran. Mari ikut aku kedalam untuk
membersihkan diri dang anti pakaian. Besok pagi-pagi baru kita menghadap
majikanku.”
Belum sempat ia mengambil keputusan,
tiba-tiba wanita baju biru itu bertepuk tangan dan muncullah dua orang bujang
perempuan. Kepada orang yang berdiri disisi kanan, ia member perintah : “Jiu
Lan, bersihkan villa yang merah. Mala mini Tong siangkong akan bermalam
disitu.”
Bujang yang dipanggil Jiu Lan itu
mengiakan lalu masuk kedalam. Kemudian wanita baju biru itu berpaling kepada bujang disisi kiri
serunya: “Swat Bwe, antarkan Tong siangkong ke kamar mandi.”
Lamkiong Wan serta merta menghaturkan
terima kasih atas kebaikan wanita baju biru itu. Kemudian ia mengikuti Swat Bwe
keluar dari ruang itu. Mereka menuju ke ruang samping yang didalamnya mempunyai
kamar mandi. Swat Bwe membawa air panas dan seperangkat pakaian. Setelah
mengancing pintu, Lamkiong Wan lalu merendam diri dalam tahang air hangat itu.
Sudah beberapa hari Lamkiong Wan tak
mandi. Selesai mandi ia rasakan badannya segar sekali sekarang. Dan setelah
ganti pakaian, dia seolah-olah menjadi seorang manusia baru. Penuh bersemangat,
sepasang alis mata dan mata makin tampak bagus, bibir merah dan giginya pun
mengkilap putih. Sungguh seorang pemuda yang tampan. Jauh bedanya dengan
seorang kacung penunggu dapur pembakaran kertas sembahyang.
Melihat pemuda itu lain seperti yang
tadi, bujang Swat Bwe sampai terlongong-longong memandangnya beberapa saat,
baru berkata : “Siangkong, mari kuantar beristirahat ke villa Merah.”
Setelah berjalan melintasi sebuah
halaman dan sebuah lorong serambi, tibalah
mereka di kamar yang dinamakan Se hong suan atau Villa warna Merah
pudar.
Bangunan itu terletak disudut halaman.
Pada kedua sampingnya terdapat dua buah pintu bundar model rembulan. Kemudian
diluar pintu terdapat dua buah lorong
serambi yang saling berhubungan. Halaman penuh dengan pohon-pohon bunga tho,
heng-hay song, botan dan lain-lain.
Dalam villa itu terdapat sebuah ruang
kecil lalu sebuah lorong pendek dengan dua buah kamar di kanan kiri. Kamar
sebelah kanan sudah dibersihkan. Selambu, seprei, bantal bersulam indah dan
bersih. Disisi ranjang tergantung sebuah lampu pelangi. Dekat jendela terdapat
sebuah meja marmer yang berkaki kayu ang bok, dengan dua buah kursi sandarannya
tinggi tetapi kakinya melengkung bertutup alas kain beludru tebal warna merah.
Dua pot bunga seruni putih pada
jendela tengah mekar dan menyiarkan bau yang harum. Jelas kamar itu sebuah
kamar yang mewah dan indah. Lamkiong Wan gembira sekali sehingga
terlongong-longong seperti orang tolol.
Setelah mengantar sampai kedalam kamar
itu, Swat Bwe pun segera pergi. Disitu sudah ada Jiu Lan yang melayani.
“Siangkong, apakah engkau cocok dengan
kamar ini?” tanyanya.
“Ya..ya, cocok,” sahut Lamkiong Wan.
“Mungkin siangkong telah menempuh
perjalanan yang jauh, silahkan beristirahat. Aku berada diluar, kalau perlu
panggil saja.”
Melihat bicara bujang itu teratur dan
sopan, tak terasa Lamkiong Wan memandangnya. Dia seorang dara berumur 15-16
tahun, lincah dan menyenangkan. Wajahnya menunjukkan kecerdasan. Tanpa disadari
ia berseru: “Bujang penyair dari keluarga The, masakan begitu merendah diri…?”
Kata-kata itu berasala dari suatu
sejarah di jaman ahala Han. Dalam rumah sastrawan The Hian, bujang-bujangnya
semua belajar sastra. Di kemudian hari, mereka terkenal sebagai bujang penyair.
“Ah, mana aku dapat dibandingkan
dengan bujang keluarga The Hian?” sahut Jiu Lan dengan tertawa.
Lamkiong Wan terkejut. Jiu Lan hanya
seorang dara tetapi mengapa mengerti apa yang ia ucapkan tadi. Dengan begitu
dapat dibayangkan betapa hebat majikannya itu nanti.
Dengan pandang bertanya, Lamkiong Wan
berkata pula: “Taci Jiu Lan, siapakah nama majikanmu itu?”
Mendengar pertanyaan itu seketika
cahaya muka Jiu Lan agak berobah. Ia memandang Lamkiong Wan, mulut hendak
berkata tetapi tak jadi. Ia hanya
menghela napas lalu melangkah keluar.
Melihat gerak gerik bujang itu
Lamkiong Wan tertegun. Ia merasa bahwa keadaan gedung yang luas itu agak
berbeda dengan rumah-rumah lain. Tetapi ia memutuskan, malam itu akan tidur
dengan nyenyak kemudian pagi-pagi sekali ia akan pergi tanpa pamit. Ia tak
perduli adakah tindakannya itu tercela atau tidak.
Tiba-tiba Jiu Lan masuk lagi dan
berkata dengan perlahan : “Siangkong, mengapa engkau datangke tempat yang
berbahaya ini? Apakah engkau tak tahu bahwa gedung keluarga Li ini sudah bukan
merupakan lagi apa yang dahulu disebut sebagai It-kiong, Ji-wan, Sam-pang?”
Lamkiong Wan terlongong tak dapat
berkata. It-kiong artinya Sebuah Istana. Ji Wan artinya Dua buah gedung dan Sam
pang berarti Tiga Perkumpulan.
Berkata pula Jiu Lan : “Siangkong,
walaupun engkau berkepandaian tinggi tetapi tak mungkin dapat menandingi nona
puteri majikan kami….”tiba-tiba ia berhenti dan terus melangkah pergi.
Lamkiong Wan hendak mengambil dan
meminta penjelasan. Tetapi karena melihat wajah bujang itu amat tegang dan
tergopoh-gopoh pergi, diam-diam timbul suatu rasa seram dalam hatinya.
Memang anak muda itu selalu ingin tahu
segala apa. Walaupun tahu bahwa ia sedang menghadapi sesuatu yang aneh tetapi
Lamkiong Wan bahkan malah hendak bermalam disitu. Ia ingin tahu bagaimanakah
nona majikan mereka itu.
Tak berapa lama Jiu Lan masuk lagi
tetapi selain hanya mengantar hidangan malam, ia tak berkata apa-apa lagi.
Melihat wajah bujang itu gelisah,
Lamkiong Wan pun tak mau bertanya lagi soalgedung keluarga Li. Di villa Merah
itu ia hanya dilayani Jiu Lan. Bujang lain dan ketiga wanita setengah tua tadi
tak pernah muncul. Suasana gedung itu sunyi menyeramkan sekali.
Terbenamnya matahari segera diganti
dengan malam yang menebarkan kegelapan. Lentera-lentera yang indahpun mulai
bersinar.
Tiba-tiba Lamkiong Wan mendengar
langkah kaki orang berjalan. Ia mengira tentulah Jiu Lan yang datang. Tetapi
ternyata bukan.
“Tong siangkong, apakah belum tidur?”
terdengar sebuah suara yang lembut dan tahu-tahu seorang wanita baju biru sudah
tegak dimuka pintu.
Saat itu Lamkiong Wan tengah melamun.
Mendengar teguran itu cepat-cepat ia berdiri, serunya : “Entah petunjuk apakah
yang hendak nyonya berikan kepadaku?”
Tiba-tiba wajah wanita itu berobah
serius, ujarnya: “Memang aku hendak menyampaikan sesuatu kepada siangkong…”
Ia berhenti sejenak lalu melanjutkan:
“Tong siangkong adalah tuan muda dari
Gedung Tong yang merupakan salah satu dari It kiong, Ji Wan, Sam pang yang
termasyhur dalamdunia persilatan. Kecerdasan, kepandaian silat, pengetahuan
siangkong sudah terkenal diseluruh dunia persilatan,,,..maka tepat kalau
dikata, mata seorang ahli tentu takkan kemasukan butir pasir.”
Mendengar kata-kata wanita itu,
Lamkiong Wan seperti orang yang mabuk arak, tak tahu apa yang dimaksudkan
dengan ucapan ini. Ia bingung tetapi berusaha untuk tetap tenang mendengarkan.
Sejenakmata yang indah dari wanita
baju biru itu memandang Lamkiong Wan,lalu berkata pula:
“Tentang bakat kepandaian Tong
siangkong nona majikan kami sudah lama mendengar, pun sudah tidak asing lagi.
Asal siangkong tak melanggar peraturan gedung ini, tentu akan kami perlakukan
siangkong sebagai seorang tetamu terhormat..”
Lamkiong Wan seorang pemuda yang
cerdas. Mendengar kata-kata dan memperhatikan wajah orang segera ia dapat
menanggapi maksudnya. Tak lain wanita itu hendak memperingatkan dia agar malam
itu jangan keluar menyelidiki rahasia mereka. Tetapi ia pura-pura tak mengerti
dan sambil tertawa bertanya:
“Atas budi kebaikan kalian terhadap
diriku, kelak aku tentu akan menghaturkan terima kasih. Tetapi mengapa kalian
hendak membatasi gerak gerikku?”
Wanita baju biru itu tertawa dingin,
serunya : “ Kebahagiaan dan bencana tiada berpintu, hanya orang sendiri yang
mencarinya. Apabila tingkah laku mu terlalu bebas dan makin melanggar peraturan
gedung kami, jangan marah kalau kami akan bersikap lain kepadamu. Takkan
memperlakukan engkau sebagai tetamu terhormat tetapi bahkan akan menghukum mati
dirimu.”
Lamkiong Wan serentak merasa bahwa
dirinya sudah terlibat dalam suatu hal yang masih belum diketahuinya. Ia
tertawa hambar.
“Apakah hal ini yang hendak nyonya
katakana kepadaku?” serunya.
Wanita baju biru itu tertawa mengekeh.
“Menilik sikap dan wajahmu yang
tenang, engkau seperti tak gentar. Tetapi ketahuilah tiada seorang tokoh dalam
dunia persilatan yang mampu lolos dari tangan nona majikan kami. Harap engkau suka berpikir yang panjang,” serunya lalu melangkah pergi.
Malam pun makin kelam. Walaupun sudah
memadamkan lampu tetapi Lamkiong Wan masih belum dapat tidur. Begitu pun ia
sudah mengatakan kepada dirinya bahwa urusan itu bukan urusannya mengapa dia
harus ikut campur. Namun matanya tetap tak mau dibawa tidur.
Beberapa kali ia turun dari ranjang
hendak menyelinap keluar tetapi lain perasaannya mencegahnya. Ia ingin tahui
apa sebenarnya yang akan terjadi di gedung itu.
Pada saat ia masih tergolek diatas
ranjang tak dapat tidur tiba-tiba ia mendengar suara jeritan yang ngeri memecah
kesunyian malam.
Ia terkejut, loncat turun dari ranjang
lalu perlahan-lahan menghampiri kemuka jendela. Di luar, malam sunyi senyap
bagai sebuah kuburan.
Setelah memperdengarkan jerit yang
ngeri, tidak kedengaran suara apa-apa lagi. Suasana pun kembali hening lelap.
Tetapi
ada suatu perasaan seram yang mencengkeram hati Lamkiong Wan. Karena
jeritan ngeri itu jelas dari mulut seseorang yang mengalami peristiwa yang
menyeramkan sekali.
Jelas dalam gedung keluarga Li yang
menyeramkan itu, seseorang telah terbunuh mati. Tetapi siapakah gerangan orang
itu?Ia tahu bahwa dalam gedung itu tiada orang lelaki tetapi jeritan itu jelas
dari nada suara orang lelaki.
Setelah tegak termenung-menung
beberapa saat akhirnya dengan gerak macam naga meluncur, ia loncat keluar
jendela dan secepat itu pula terus
loncat keatas atap rumah. Ilmu meringankan tubuh yang dilakuikannya itu hebat
sekali. Mungkin tokoh kelas satu dalam dunia persilatan pun hanya setingkat
begitu.
Setelah berada diatas genteng,ia
mendekam dan memandang ke sekeliling penjurui. Tetapi aneh, seluruh gedung Li
yang sebesar itu tetap tenang-tenang saja. Seolah-olah tiada seorang pun
penghuninya yang mendengar tentang jeritan seram tadi.
Lamkiong wan yang cerdas segera dapat
merangkai suatu kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapinya saat itu
benar-benar merupakan suatu kejahatan yang terselubung secara lihay sekali. Mau
tak mau ia merasa ngeri juga.
Sekonyong-konyong dari ujung seberang
halaman melayang sesosok bayangan manusia. Gerak geriknya sedemikian ringan
sekali sehingga tak mengeluarkan suara sedikitpun juga. Orang itu berhenti di
halaman villa Se hong suan.
Dengan pandang matanya yang tajam
dapatlah Lamkiong Wan melihat keadaan orang itu. Masih nuda berumur sekitar dua
piluh tahun, mengenakan pakaian warna biru dengan sabuk putih, bersepatu laras
tinggi. Dada bidang, pinggangkencang, wajah bundar seperti bulan purnama, bibir
merah berhias gigi putih, tangan mencekal sebuah kipas yang berkerangka baja.
Sungguh gagah sekali sehingga diam-diam Lamkiong Wan memuji juga.
Pemuda baju biru itu memandang kearah
villa merah. Tiba-tiba ia berputar-putar tubuh dan tiga empat kali
menggoyang-goyangkan kipas bajanya lalu berdiri diam lagi.
Lamkiong Wan kerutkan dahi. Tak tahu
ia apa maksud gerakan pemuda baju biru itu. Begitu selesai ia menduga-duga
tiba-tiba terdengar suara gedebak-gedebuk. Beberapa tubuh manusia rubuh dari
balik pohon dan ujung rumah yang gelap.
Bukan kepalang kejut Lamkiong Wan.
Ternyata gerakan kipas dari pemuda baju
biru itu mengandung senjata rahasia yang ganas. Senjata rahasia itu tak
mengeluarkan bunyi sama sekali tahu-tahu beberapa orang telah rubuh.
Gerakan pemuda itu mencakup kelihayan
ilmu silat,pengalaman dan keganasan. Lamkiong Wan merangkai kesimpulan bahwa
pemuda baju biru itu tentu seorang jago silat yang hebat.
Terdengar sebuah suara orang mendengus
dan pada lain saat dari balik sebatang pohon di tempat yang gelap,muncul
seorang baju hitan. Kecuali pada bagian mata yang diberi berlubang, orang itu
mengenakan pakaian yang menyelubungi kepala sampai kaki.
Melihat seorang baju hitam muncul,
pemuda baju bitu itupun segera melangkah maju menghampiri. Kira-kira terpisah
setombak jaraknya, pemuda itu tertawa dingin lalu kebutkan kipas bajanya
kemuka.
Lamkiong Wan dapat melihat jelas, dari
kipas baja itu telah meluncur tiga batang sinar emas yang selembut bulu kerbau
kearah orang baju hitam itu.
Tetapi rupanya orang baju hitam itu
sudah bersiap. Pada saat pemuda baju biru menggerakkan kipasnya, ia sudah
melangkah kesamping untuk menghindar
lalu maju merapat dan secepat kilat menyambar siku lengan pemuda baju biru itu.
Tetapi pemuda baju bir itupun segera
mengendapkan tangannya kebawah, sedang tangan kirinya pun mencabut sebatang
pedang pendek dari bajunya dan terus menusuk.
Namun ia menyadari bahwa gaya serangan
menusuk secara biasa, tentu tak mungkin dapat melukai lawan. Maka tiba-tiba
ditengah jalan, ia balikkan pedang dan meneruskan tusukannya.
Tetapi orang baju hitam itu juga
lihay. Melihat perobahan gaya serangan lawan , ia segera menyurut mundur.
Sambil tertawa mengejek, pemuda baju
biru itu berseru : “Hmm, engkau dapat menghindar dengan cerdik sekali!”
Orang baju hitam pun menjawab sisnis:
“Sejak masuk kedalam gedung keluarga
Li, anda telah membunuhbelasan jiwa penghuni disini. Tentulah anda seorang yang
ternama, bukan?”
Agaknya orang baju hitam terkejut juga
melihat kepandaian pemuda baju biru itu. Sejauh pengetahuannya, ia belum pernah
mendengar tentang seorang jago muda yang sedemikian saktinya.
Juga Lamkiong Wan tak kurang kejutnya.
Saat itu baru ia tahu akan keadaan kedua orang itu. Ia tak pernah menyangka bahwa
gedung yang tampaknya tiada berpenghuni lelaki dan tanpa penjagaan, ternyata
dijaga ketat sekali dan penuh dengan jago-jago kojiu. Demikian pula wanita baju
biru itu pun telah memasang penjagaan disekitar villamerah untuk mengawasi
gerak-geriknya.
Terdengar pemuda baju biru tertawa
perlahan:
“Jika engkau ingin tahu namaku,
silahkan engkau pergi ke akhirat dan memeriksa buku cacah jiwa dari Raja
Akhirat!” sambil berkata ia terus menusuk dada orang baju hitam.
Melihat serangan itu, cepat orang baju
hitam melepaskan hantaman seraya menghindar ke samping. Tetapi sebelum ia
sempat berdiri tegak,ujung pedang pemuda itu pun sudah mengancamdadanya lagi.
Bukan kepalang kejut orang baju hitam. Berulang kali ia menghindar ke samping
seraya menghantam dengan kedua tangannya.
Tetapi pemuda baju biru itu dengan
gerak tata langkah yang lincah dan indah
selalu dapat berkisar menghindar, sedang pedang pendeknya bagaikan besi
sembraniyang selalu menjurus kearah dada lawan.
Orang baju hitam itu terkejut dan
marah, selama berlincahan menghindar itu ia sudah melontarkan dua belas buah
pukulan dan bergantiposisi sampai tujuh belas kali. Tetapi tetap tak mampu
terlepas dari ancaman pedang pemuda baju biru itu.
Melihat pertempuran itu, diam-diam
Lamkiong Wan terkejut dalam hati. Pedang pemuda baju biru itu benar-benar
seperti bayangan yang melekat tubuh lawan. Diam-diam iapun memperhitungkan.
Andaikata pemuda baju biru itu menyerangnya dengan jurus permainan begitu,
hanya dengan jurus Tang-hay pok liong atau Menangkap naga di laut timur, sebuah
jurus pelajaran dari Siau-lim si, baru ia dapat memaksa lawan untuk menarik serangannya.
Pada saat itu tampak pemuda baju biru
mulai perlahan-lahan mengangkat kipas bajanya dan lurus ditudingkan kearah
orang baju hitam.
“Hm, sekalipun engkau lolos dari
kejaran pedangku ini tetap jangan engkau mimpi dapat lolos dari kipasku Toh hun
san yang berisi belasan macam senjata rahasia,” ia mendengus dingin.
Rupanya orang baju hitam itu menyadari
kalau tak mungkin dapat meloloskan diri. Maka iapun hentikan gerakannya sama
sekali.
Tiba-tiba terdengar orang baju hitam
itu berseru dengan nada sedingin es: “Tetapi apakah engkau yakin kalau mampu
lolos dari gedung Li yang telah dijaga rapat ini?”
Mendengar itu Lamkiong Wan terkejut
dan memandang ke sekeliling penjuru. Ternyata disekitar villa merah itu telah
bermunculan belasan orang baju hitam. Setiap orang baju hitam itu mencekal
sebuah senjata trisula berkepla elang hitam. Juga wajah mereka, semua tertutup
kain kerudung hitam.
Sambil masih melekatkan pedang dan
kipas baja kearah dada orang baju hitam itu, pemuda baju biru itu
menyelimpatkan pandang ke sekitar penjuru. Ia tertawa dingin.
“Jika tak salah kawanan orang-orang
baju hitam itu tentu barisan Elang Hitam. Jika begitu engkau itulah Ratu Elang
Hitam,” serunya.
“Menilik anda sudah dapat mengenal
diri kami, tentulah anda juga tahu akan peraturan himpunan kami,” wanita itu
mengesuh dingin.
Pemuda baju biru tertawa meloroh:
“Setiap orang persilatan yang dapat
menemukan jejak dan mengenal diri kalian, tentu harus mati. Selama ini tiada
seorang pun yang dapat hidup,” serunya.
Wanita baju hitam itu berseru dingin:
“Jika kau mengerti hal itu mengapa
anda tak lekas-lekas bunuh diri!”
Pemuda baju biru tersenyum.
“Ha, ha, apakah kalian tak memikirkan
keselamatannya lagi…,” tiba-tiba pemuda itu memekik amarah seraya mengisar
kesamping untuk menghindari pikulan yang dilancarkan wanita baju hitam itu. Dan
sekali gerakkan kipasnya maka orang baju hitam tadi segera mengerangtertahan
terus rubuh ke tanah.
Wanita baju hitam itu kerutkan alis
lalu melengking dan menerjang maju dalam gerak yang luar biasa cepatnya. Tangan
kirinya menampar bahu pemuda itu.
Pemuda baju biru miringkan bahunya
lalu serentak taburkan pedang dalam gerak seperti menusuk tetapi pun seperti
menabas jalan darah bahu wanita itu.
Tetapi wanita baju hitam itu tak
menghindar atau pun menyingkir, ia songsongkan kelima jari yang runcing
kebelakang untuk mencengkeram siku lengan kiri si pemuda.
Dari tempat persembunyiannya, Lamkiong
Wan terkejut menyaksikan kelihayan wanita baju hitam itu. Ia tak menyangka
bahwa wanita itu ternyata seorang kojiu.
Tanpa berpaling muka dan tanpa mengisar tubuh, hanya dengan mengandalkan
ketajaman telinganya, ia dapat membalikkan tangan kebelakang untuk mencengkeram
dengan tepat jalan darah pada siku lengan lawan.
Pemuda baju biru terpaksa
menggelincirkan lengannya kebawah sembari menyurutmundur, lalu tertawa dingin.
“Ternyata ilmu kepandaian dari Ratu
Elang Hitam memang hebat sekali. Baiklah, hari ini aku akan minta pelajaran
lagi…”
Setelah cengkeramannya luput, sambil
memegang pinggangnya dengan tangan kanan, wanita baju hitam itupun segera
berputar tubuh, tetapi pemuda baju biru itu tak mau member kesempatan lagi.
Ia tertawa meloroh serunya: “ Rupanya
saat ini dalam gedung keluarga Li telah merupakan sebuah sarang dari jago-jago
silat yang berilmu tinggi ibarat sarang berkumpulnya naga dan harimau. Penuh
dengan kabut hawa pembunuhan yang meluap-luap. Tiga hari atau paling lambat
tujuh hari lagi aku tentu akan datang mengunjungi nyonya kemari.”
Habis berkata ia terus lari kearah
villa Se hong-suan.
Empat orang baju hitam yang bersenjata
trisula dan menjaga tempat itu segera menyongsong dengan senjatanya. Tetapi
pemuda baju biru itu mengayunkan kaki dan beberapa kali tamparkan kipasnya.
Bluk, bluk, bluk, keempat anggota
Elang Hitam itu segera rubuh terkena senjata rahasia yang dimuntahkan dari kipas
baja pemuda baju biru.
Setelah merubuhkan lawan, cepat pemuda
baju biru apungkan tuibuh melayang keatas genteng lari menuju ke tempat
persembunyian Lamkiong Wan.
Lamkiong Wan terkejut, ia hendak
menyingkir tetapi tak keburu. Gerakan pemuda baju biru memang cepat sekali. Tuga batang jarum halus warna emas
segera berhamburan menabur muka Lamkiong wan.
Tahu akan keganasan senjata rahasia
itu, Lamkiong Wan menekan genteng lalu dengan meminjam tenaga tekanan itu
tubuhnyapun melayang ke samping.
Terdengar mulut pemuda baju biru itu
mendesis geram. Ia terus menerjang. Pedang di tangan kiri cepat menabas tetapi luput,
kipas di tangan kanan menyusul ditamparkan. Rupanya dia sudah tahu bahwa
Lamkiong Wan berkepandaian tinggi dan dia memang ingin sekali membunuhnya. Maka
tamparan kipas bajanya itu dilambari dengan tujuh bagian tenaga dalam.
Setelah berhasil menghindari tebasan
pedang, Lamkiong Wan terkejut melihat tamparan kipas pemuda baju biru itu
sedemikian dahsyatnya. Ia tak mau menghindar, kebalikannya malah tamparkan
lengan bajunya kearah kipas lawan.
Terjadilah benturan antara lengan baju
dengan kipas. Seketika Lamkiong Wan rasakan tubuhnya bergetar keras sedang
pemuda baju biru itupun tersurut mundur selangkah.
Pertempuran selanjutnya berlangsung
dengan cepat dan seru sekali.
Wanita baju hitam pun menyaksikan
pertempuran itu. Bermula ia masih dapat melihat kedua pemuda itu saling
bertukar pukulan dan saling menangkis tetapi selanjutnya ia tak dapat mengikuti
jalannya pertempuran lagi. Matanya seolah-olah kabur melihat pertempuran yang
dilakukan sedemikian cepatnya.
Tiba-tiba wanita baju hitam itu
berseru: “Tong siangkong, harap tahan dia!”
Mendengar itu terkesiaplah pemuda baju
biru. Dengan cepat matanya berkilat-kilat mengamati Lamkiong Wan dari kaki
sampai keatas kepala.
Tiba-tiba ia mengadahklan kepala dan
tertawa tergelak-gelak lalu, wut, wut, dua kali kipas bajanyaditamparkan kearah
wanita cantik baju hitam.
Rupanya setelah berseru kepada
Lamkiong Wan, wanita cantik baju hitam itu hendak melayang keatas genteng.
Tetapi sebelum kakinya sempat berdiri tegak, pemuda baju biru sudah menyambut
dengan tamparan kipasnya. Tampak bahu wanita baju7 hitam itu bergetar dan
tubuhnya pun segera melambung ke udara, menghindari angin tamparan kipas si
pemuda baju biru.
Pada saat wanita baju hitam serdang
menghindar itu, pemuda baju biru pun segera berputar tubuh dan terus meloncat
keatas rumah yang lain dan lenyap dalam kegelapan malam.
Saat itu Lamkiong Wan masih merasakan
tangan kanannya kesemutan. Ia hanya dapat memandang cakrawala dan menghela
napas panjang. Ia tak mengucap apa-apa tetapi hatinya yang berbicara.
Beberapa saat kemudian, ketika ia
berputar tubuh dan memandang kian kemari, ternyata wanita baju hitam dan
kawanan baju hitam itu, sudah tak tampak lagi.
Ia pun segera melayang turun dan masuk
kedalam kamar. Saat itu hari sudah hampir fajar. Dia masih memikirkan
peristiwa-peristiwa tadi tetapi tetap tak dapat memecahkannya. Terlalu rumit
dan gelap baginya.
“Dunia persilatan sungguh penuh dengan
hal-hal yang aneh dan sukar diduga,” akhirnya ia menghela napas.
Dengan perlepasan pikiran itu, iapun
terlena tidur pulas. Sampai matahari sudah memncarkan sinar yang terang
benderang, baru ia bangun.
Ternyata di meja sudah tersedia
hidangan panmas dan segala keperluan cuci muka. Alat-alatnya mewah dan mahal
semua. Demikian pula dengan hidangannya. Sepinggan mi ayam goring ayam, dan
ayam panggang serta sebuah botol kecap.
Hidangan itu menyiarkan bau yang
membangkitkan nafsu makan. Lamkiong Wan pun tak sungkan. Setelah gosok gigi dan
cuci muka, segera ia melahap hidangan itu.
Ada suatu keanehan yang dirasakan.
Sampai setengah hari tak tampak barang seorang bujang yang datang kesitu.
Saat itu matahari mulai condong ke
barat. Lamkiong Wan melangkah keluar, berjalan mondar mandir diantara gerumbul
pohon. Walaupun pohon-pohon bunga itu sudah banyak yang gugur dan layu tetapi
dapat juga membangkitkan kesegaran semangat.
Ia tengah tertegun ketika Jiu Lan
menghampiri dan berseru: “Siangkong, nyonya kami hendak bicara dengan
siangkong.”
Beberapa saat kemudian terdengar suara
gemerincing gelang dan di serambi muncullah
wanita baju biru itu. Dengan langkah yang lemah gemulai ia menghampiri
Lamkiong wan dan berseru dengan tertawa cerah.
“Ah, siangkong tentu sudah lama
menunggu,”
Lamkiong Wan segera mempersilahkannya
masuk kedalam ruiang. Wanita baju biru itu memberi isyarat agar Jiu Lan keluar.
Kemudian Lamkiong Wan bertanya tentang
keperluan nyonya itu. Tiba-tiba nyonya baju biru berbangkit. Sambil
perlahan-lahan menyingkap rambut diatas dahinya ia tertawa.
“Peristiwa yang terjadi semalam tentu
mengejutkan siangkong,. Maka aku hendak menghaturkan maaf kepadamu,” Katanya.
Lamkiong Wan terkejut ketika melihat
wanita itu menjura dihadapannya.
“Ah, tak usah, tak usah…,” Lamkiong
Wan gopoh berseru hendak meminta wanita itu jangan berlaku demikian banyak
peradatan. Tetapi sebelum sempat menyelesaikan kata-katanya, ia melihat sebuah
jari tangan wanita itu bergerak hendak menutuk lambungnya.
Dalam kejutnya, Lamkiong Wan terpaksa
mengeluarkan ilmu sakti Can liong jiu atau penebas naga dari perguruan Siau lim
si untukmenampar pergelangan tangan wanita itu.
Wanita baju biru mengisar langkah dan
menghindari kemudian tertawa rendah: “ Ilmu Can-liong jiu dari Siau-lim si!”
Suara tawa wanita semerdu burung
kenari berkicau, gemerincing laksana butir-butir mutiara menumpah diatas
penampan kumala. Disertai dengan gaya yang mempesona, Lamkiong Wan terpukau.
Tetapi pada saat itu tangan wanita
baju biru sudah bergerak pula untuk balas menampar siku lengan Lamkiong Wan.
Lamkiong Wan tersentak dari
longongnya. Ia rasakan suatu arus tenaga lunak yang dingin memancar keluar dari
lengan baju wanita itu. Cepat ia menghimpun tenaga murni dalam dada,
membalikkan lengan tangan dan balas memancarkan tenaga dalam lalu mundur
selangkah.
“Jika nyonya tak berhenti menyerang,
maaf kalau aku berlaku kurang sopan,” serunya.
Namun wanita baju biru itu tetap
tertawa.
“Ah, lagi-lagi ilmu pelajaran dari
Siau-lim si. Hebat sekali tenaga pukulan itu,” serunya seraya menyelimpat maju
kesamping Lamkiong Wan. Tangan kanan mencengkeram dan kaki kiri yang semulus
salju bercampur warna merah mawar, segera beraqyun menendang.
Lamkiong wan mengisar setengah langkah
ke samping, menghindari cengkeraman. Tetapi selekas itu harus kerutkan dahi
karena melihat betis yang putih dari wanita baju biru itu. Cepat ia gunakan
jurus Hoa-liong tiam ceng atau Menyelesaikan lukisan naga dengan menitik mata,
dua buah jari telunjuk dan jari tengah, segera menutuk jalan darah Wi tiong hiat
di lutut wanita itu.
Wanita baju biru itu miringkan tubuh,
secepat kilat ia balas menutuk perut Lamkiong Wan tetapi Lamkiong Wan tak
gentar. Dengan jurus Peng hui ngo thian atau Mengangkat lurus lima sinar, ia
menepis ke samping.
--Bersambung ke Jilid 2- Bab 3